Thursday, August 27, 2015

Kerajaan Bangsa Arab Di Masa Jahiliyah

Raja-raja di Yaman

Salah satu suku terkenal di Arab Aribah di Yaman ialah kaum Saba. Jejak mereka dapat terlacak melalui peninggalan fosil Aur, yang hidup pada 20 abad SM. Puncak kejayaan kaum Saba bermula pada 11 tahun SM, setelah melalui beberapa tahapan.
Tahun 650 SM, kaum Saba mempunyai wilayah kekuasaan mulai dari negeri Arab hingga di luar Arab. Raja mereka bergelar "Ma'rib Saba" dan ibukotanya bernama Sharwah. Salah satu peninggalan peradaban mereka adalah Bendungan Ma'rib yang terkenal dalam sejarah Yaman. Jejak peninggalan mereka dapat ditelusuri dengan menempuh perjalanan sehari ke arah barat negeri Ma'rib, yang terkenal dengan nama Kharibah.
Tahun 650 SM hingga 110 SM. Pada masa ini, gelar "Ma'rib" yang selama ini mereka pakai ditanggalkan. Penguasa Saba lebih dikenal sebagai raja-raja Saba, sedangkan ibu kotanya berubah dari Sharwah menjadi Ma'rib. Reruntuhan kota ini dapat dilihat sekitar 60 mil ke arah timur Shan'a. Tahun 115 SM sampai 300 Masehi. Di periode ini, kerajaan Saba runtuh karena dikalahkan kabilah Himyar. Ma'rib tidak lagi menjadi ibu kota, diganti Raidan. Kemudian Raidan diubah menjadi Dhaffar. Ada tiga sebab keruntuhan Saba :
  1. Karena Romawi menguasai jalur-jalur perniagaan lewat laut setelah mereka berhasil menaklukkan Mesir, Suria dan bagian utara Hijaz.
  2. Perluasan kekuasaan kabilah Nabat ke utara Hijaz sehingga perekonomian Saba bangkrut.
  3. Persaingan antarkabilah.
Setelah runtuh, orang-orang Saba berhamburan meninggalakan Yaman menuju negeri Syasa'ah. Jejak-jejak peninggalan mereka dapat ditemukan di dekat Yarim, tepatnya di sebuah bukit yang di sekitarnya dikelilngi pagar.
Tahun 300 Masehi hingga masuknya Islam ke Yaman. Ini menjadi masa yang sarat dengan kekacauan, perang antarsuku dan kabilah sering terjadi, seperti antara kabilah Hamdan dan Himyar. Akibatnya, musuh dari luar dengan mudah mengalahkan mereka. Bangsa Romawi berhasil bergerak masuk ke Aden dan mereka membantu orang-orang Habasyah menguasai Yaman pada awal tahun 340 M.
Beberapa tahun kemudian, Yaman baru dapat merebut kemali kemerdekaannya. Namun, mereka tidak lama menikmati udara kemerdekaan karena Bendungan Ma'rib runtuh yang mengakibatkan banjir bandang pada 450 M atau 451 M. Usai itu, meletus sebuah peristiwa besar yang meluluhlantakkan peradaban mereka.
Pada tahun 523 M, seorang Yahudi bernama Dzu Nawwas membawa pasukan untuk menyerang orang-orang Masehi (para pengikut agama Isa al-Masih) dari penduduk Najran. PAsukan Dzu NAwwas memaksa mereka untuk meninggalkan ajaran MAsehi, tetapi mereka menolaknya. Dzu Nawwas lalu membuat parit-parit besar dan menyalakan api di dalam parit-parit itu. Mereka yang menentang ajakan Dzu Nawwas bernasib malang karena dilempar ke lubang parit itu. (lihat surah al-Buruj).

Lokasi Raja-Raja di Yaman
Lokasi raja-raja di Yaman

Orang-orang Nasrani marah atas peristiwa itu. Dada mereka dibakar api dendam membara. Mereka pun terpacu untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Imperium Romawi menjadi pemicu orang-orang Nasrani memperluas wilayah jajahannya, teristimewa di negeri Arab. Untuk itu, mereka bekerjasama dengan kaum Habasyah (Ethiopia). Orang-orang Habasyah menyediakan armada laut dan 70 ribu pasukan. Yaman berhasil mereka kuasai pada 525 M dengan dikomandani Aryath. Beberapa lama Aryath memimpin Yaman hingga akhirnya ia tewas dibunuh anak buahnya, Abrahah. Abrahah lalu meminta restu dari rajana di Habasyah untuk memimpin Yaman. Abrahah adalah orang yang hendak menyerang Ka'bah dengan pasukan gajahnya.
Orang-orang Yaman yang tak nyaman dijajah, mulai menyusun siasat untuk mengusir orang-orang Habasyah. Usai "Peristiwa Gajah", penduduk Yaman meminta bantuan kaum Persia untuk merebut kemerdekaan dari kaum Habasyah. Usaha mereka berhasil pada tahun 575 M dengan dipimpin Ma'di Yakrib bin SaifDzi Yazan al-Himyar. Ma'di sendiri akhirnya menjadi raja Yaman. Ma'di tidak mengusir semua orang Habasyah karena ia mempertahankan beberapa orang sebagai pengawalnya. Ma'di akhirnya dibunuh oleh para pengawalnya tersebut.
Kematian Ma'di menjadi akhir riwayat raja-raja dari keluarga Dzi Yazan. Muncullah orang-orang Kisra dan mereka mengangkat bangsa Persia di Shan'a sebagai penguasa dan menjadikan Yaman sebagai wilayah Persia. Ia memeluk Islam pada tahun 638 M yang menandai akhir kekuasaan Persia atas Yaman. (Tafhimul Qur'an dan Tarikhu Ardhil-Qur'an,dalam ar-Rahiq al-Makhtum).

Negeri-Negeri Terkenal di Selatan Jazirah Arab
Negeri-negeri Terkenal Jelang Kerasulan di Selatan Jazirah Arab
Negeri-Negeri Terkenal di Selatan Jazirah Arab
Lokasi Negeri Terkenal di Jazirah Arab

Raja-raja di Hirah


Cyrus Yang Agung (557-529 SM) berhasil membuat bangsa Persia menguasai bagian utara Jazirah Arab (Hirah di Iraq) setelah ia mempersatukan bangsa Persia. Keberadaan Persiaditakuti oleh bangsa-bangsa lainnya, sampai kemudian muncul Alexander dari Macedonia pada 326 SM yang berani menyerang dan menaklukkan Persia sehingga mereka terpecah belah. Muncullah raja-raja baru yang dikenal sebagai raja-raja Thawa'if. Mereka berkuasa di daerahnya masing-masing sampai tahun 230 SM. Di masa ini, orang0orang Qahthan pergi ke Iraq dan menguasai daerah subur di sana. Di tempat itulah mereka bertemu dengan keturunan Adnan yang juga berhijrah. Mereka berhasil menguasai sebagian dari Semenanjung Furat.


Negeri-Negeri Terkenal di Utara Jazirah Arab
Lokasi Kerajaan Besar di Sebelah Utara Jazirah Arab

Setelah itu, di Hirah, muncul beberapa kerajaan besar antara lain Al-Anbath pada awal abad ke-4 SM-106 M, dengan ibu kotanya Petra, Yordania; Tadmur pada awal abad ke-1 M-271 M dengan ibu kotanya Tadmur; Al-Ghassasinah pada 500 M--635 M dengan ibu kotanya Basrah di Syam; dan terakhir Al-Munadzarah di Iraq pada 288 M-632 M dengan ibu kotanya Hirah. Khusus Al-Munadzarah, akan dibahas lebih lengkap disini.

Al-Munadzarah
Setelah Persia takluk oleh Alexander dari Macedonia, mereka baru bangkit kembali pada masa Ardasyir, pendiri Dinasti Sasanit sejak tahun 226 M. Ardasyir mampu menyatukan bangsa Persia dan menguasai orang-orang Arab yang tinggal di wilayah pinggiran kekuasannya. Kondisi ini menyebabkan orang-orang Qudha'ah hijrah ke Syam dan penduduk Hirah serta Anbar patuh kepada Ardasyir.
Pada zaman Ardasyir ini, Judzaimah al-Wadhdhah menjadi penguasa di Hirah dan sebagian penduduk Iraq serta daerah Rabi'ah dan Mudhar. Judzaimah wafat pada tahun 268 M dan digantikan Amru bin Adi bin Nashr al-Lakhmi. Ini mengawali era kekuasaan dinasti Lakhmi pada masa Kisra Sabur bin Ardasyir. Beberapa raja dari kalangan Lakhmi tetap berkuasa setelah itu di Hirah hingga tiba masa kekuasaan Qubadz bin Fairuz di Persia. Pada saat itu ada orang yang sangat berpengaruh, meskipun bukan raja. Ia bernama Mazdak, yang mengajak orang bergaya hidup ermisif. Banyak orang terpengaruh, termasuk Qubadz dari Persia. Qubadz mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama', mengajaknya untuk mengikuti ajaran Mazdak. Namun, al-Mundzir menolak ajakan itu, sehingga Qubadz mengucilkannya. Qubadz lalu mengangkat al-Harits bin Amr bin Hijr al-Kindi sebagai pengganti al-Mundzir, setelah dia menerima ajakan Qubadz untuk menerapkan gaya hidup yang diciptakan Mazdak.
Masa kekuasaan Qubadz berakhir dan digantikan Kisra Anusyirwan, yang sangat membenci gaya hidup permisif. Dia membunuh Mazdak dan pengikutnya, serta mengangkat kembali al-Mundzir sebagai penguasa di Hirah. Sebenarnya al-Harits bin Amr meminta jabatan tersebut, tetapi tidak dikabulkan Kisra Anusyirwan. Justeru a-Harits dubuang ke Dar Kalbi sampaimeninggal.
Sistem kerajaan terus berlanjut setelah al-Mundzir bin Ma'us-Sama, hingga masa kekuasaan an-Nu-man bin al-Mundzir. Dialah yang memancing kemarahan Kisra, karena berbagai perhiasan yang diurus Zaid bin Adi al-Ibadi. Kisra mengirim utusan kepada Nu'man untuk meminta perhiasan-perhiasan itu. Maka, secara diam-diam, Nu'man menemui Hani bin Mas'ud, pemimpin suku Syaiban, untuk menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu dia menghadap Kisra.
Akhirnya dia dijebloskan ke dalam penjara hingga meninggal. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qubaishah ath - Thai dan memerintahkannya mendatangi Hani bin MAs'ud untuk meminta harta benda yang dititipkan Nu'man kepadanya. Namun, dengan gagah berani Hani menolak permintaan itu. Hal ini membuat Kisra mengizinkan Iyas untuk memerangi Hani. Dengan dibantu pasukan perang Kisra, terjadilah peperangan yang dahsyat antara Iyas dan Hani di Dzi Qar. Suku Syaiban mendapatkan kemengan yang gemilang dalam peperangan ini dan mampu menghancurkan pasukan Persia. Inilah saat pertama kalinya bangsa Arab memperoleh kemenangan atas bangsa selain Arab. Hal ini terjadi tak lama setelah kelahiran Rasulullah saw. sebab beliau dilahirkan delapan bulan setelah Iyas bin Qubaishah berkuasa di Hirah.
Setelah Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa dari bangsa Persia di Hirah dan pada tahun 632 M, kekuasaan kembali dipegang suku Lakham. Di antara penguasa dari kalangan mereka adalah al-Mundzir, yang bergelar al-Ma'rur. Namun, kekuasaannya ini hanya bertahan selama delapan bulan, dengan kedatangan Khalid bin Walid beserta pasukan Muslim.

Raja-raja di Syam
Pada masa ini, emigrasi kabilah Arab banyak terjadi. Di antaranya adalah suku-suku Qudha'ah yang berpindah ke berbagai daerah di pinggiran Syam dan mereka menetap di sana. Mereka adalah Bani Sulaih bin Halwan, di antara mereka ada Bani Dhaj'am bin Sulaih, yang dikenal dengan sebutan Dhaja'amah. Mereka dimanfaatkan bangsa Romawi sebagai tameng untuk menghadapi gangguan orang-orang Arab dan sekaligus sebagai benteng pertahanan untuk menghadang bangsa Persia. Untuk itu, Romawi mengangkat seorang raja dari suku ini hingga beberapa tahun. Raja mereka yang terkenal adalah Ziyad bin Habulah. Kekuasaan mereka kira-kira bertahan sejak awal abad 2 Masehi hingga akhir abad 2 Masehi. Kekuasaan mereka berakhir setelah kedatangan suku Ghassan, yang dapat mengalahkan Dhaja'amah. Bangsa Romawi lalu mengangkat suku Ghassan sebagai raja bagi semua bangsa Arab di Syam. Ibu kotanya adalah Dumatul-Jandal. Suku Ghassan ini terus berkuasa sebagai kaki tangan imperium Romawi, hingga meletus Perang Yarmuk.
Raja meteka yang terakhir, Jabalah bin al-Aiham, dapat diajak masuk Islam pada masa Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab.

Negeri-Negeri Terkenal di Utara Jazirah Arab
Kerajaan Besar Jelang Kenabian di Utara Jazirah Arab


Kekuasaan di Hijaz
Ismail menjadi pemimpin Makkah dan menangani Ka'bah selama hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Dua putra beliau menggantikan kedudukannya, yaitu Nabit, lalu Qaidar. Ada yang mengatakan sebaliknya. Setelah itu muncul Mudhadh bin Am al-Jurhumi. Maka kepemimpinan Makkah beralih ke tangan orang-orang Jurhum dan terus berda di tangan mereka. Anak-anak Ismail merupakan titik pusat kemuliaan, sebab ayahnyalah yang telah membangun Ka'bah.
Seiring perjalanan waktu, anak keturunan Ismail makin tenggelam, hingga keberadaan Jurhum makin bertambah lemah dengan kemunculan Bukhtanashar. Bintang keturunan Adnan dalam bidang politik mulai redup di langit Makkah sejak masa itu. Buktinya, saat Bukhtanashar berperang melawan bangsa Arab di Dzatu Irq, pasukan bangsa Arab tidak berasal dari Bani Jurhum. 
Keturunan Adnan berpencar ke Yaman pada saat Perang Bukhtanashar II (tahun 587 SM), lalu pergi bersama Ma'ad ke Syam. Setelah tekanan Bukhtanashar mulai mengendur, maka Ma'ad kembali ke Makkah, tetapi dia tidak mendapatkan seorangpun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi anak putri Jursyum, Mu'anah dan melahirkan Nizar.
Setelah itu, keadaan Bani Jurhum mulai suram di Makkah dan posisinya semakin terjepit. Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghalalkan harta di Ka'bah. Hal ini membuat murka orang-orang Bani Adnan. Ketika Bani Khuza'ah tiba di Murr Dzahran dan bertemu dengan orang-orang Bani Adnan dan Jurhum, serta atas bantuan suku-suku Adnan yang lain, mereka menyerang Bani Jurhum hingga dapat diusir dari Makkah. Bani Khuza'ah pun berkuasa di sana pada pertengahan abad kedua Masehi.
Ketika Bani Jurhum berkuasa, mereka menggali sumur zamzam utnuk mencari tempatnya secara persis, lalu mengubur berbagai macam benda di sana. Ibnu Ishaq berkata, "Amr bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar sambil membawa tabir Ka'bah dan Hajar Aswad, lalu menguburnya di sumur zamzam. Kemudian bersama orang-orang Jurhum, dia pindah ke Yaman. Tentu saja mereka sangat sedih karena harus meninggalkan kekuasaan atas Makkah. Tentang hal ini, Amr berkata di dalam syairnya,
"Seakan tiada teman bagi si pemalas saat ke Shafa, tiada juga orang yang diajak mengobrol di Makkah, kitalah penduduknya dan senantiasa berada di sana menyertai taburan debu dan malam-malam yang berubah."
Masa Ismail diperkirakan pada 20 abad SM. Sementara keberadaan Jurhum di Makkah kira-kira pada abad ke-21 SM. Mereka berkuasa selama 20 abad. Khuza;ahmenangani urusan kota Makkah tanpa Bani Bakr. Kabilah-kabilah Mudhar bertugas dalam tiga hal :

  1. Menjaga keamanan orang-orang dari Arafah hingga Muzdalifah dan memberi izin kepada mereka saat meninggalkan Mina, yang boleh dilakukan setelah Bani Ghauts bin Murrah dari suku Ilyas bin Mudhar, yang disebut Shufah. Dengan kata lain, manusia tidak boleh melempar jumrah, kecuali setelah ada seorang dari Shufah yang melakukannya. Jika semua orang telah selesai melempar Jumrah dan hendak meninggalkan Mina, orang-orang Shufah berada di antara dua sisi Aqabah, dan tidak seorangpun boleh lewat kecuali setelah mereka lewat. Setelah itu orang-orang diperbolehkan lewat. Setelah orang-orang Shufah selesai, tradisi ini dilanjutkan Bani Sa'ad bin Zaid dari Tamim.
  2. Pelaksanaan iifadha (bertolak) dari Juma ke Mina yang menjadi wewenang Bani Udwan.
  3. Penanganan air minum selama bulan-bulan suci diserahkan ke Bani Tamim bin Adi dari Bari Kinanah.
Kekuasaan Khuza'ah di Makkah berlangsung selma 300 tahun. Pada masa kekuasaan mereka, keturunan Adnan berpencar di NAjed, pinggiran Iraq dan Bahrain, sedangkan pinggiran Makkah ada suku-suku dari Quraisy, yaitu Hulul dan Hurum serta suku-suku lain dari Bani Kinanah. Bani Kinanah tidak mempunyai wewenang sedikit pun untuk mengurus Makkah dan Ka'bah. Mereka baru diberi kepercayaan setelah munculnya Qushai bin Kilab.

Menurut riwayat, Qushai telah menjadi anak yatim saat masih kecil. Sehari-hari ia berada dalam pengasuhan ibunya. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani Udzrah, yaitu Rabi'ah bin Haram. Sang suami membawa ibu Qushai ke perbatasan Syam. Qushai kecil pun ikut pindah ke Syam.
Setelah Qushai menginjak remaja, dia kembali ke Makkah. Kala itu, Hulail bin Habsyah dari Bani Khuza'ah menjadi Gubernur Makkah. Qushai menetap di Makkah. Semakin hari pergaulannya makin luas. Qushai muda pun akhirnya mulai tertarik pada wanita. Ia tertarik pada putri Hulail, yang bernama Hubba. Qushai memberanikan diri untuk melamarnya. Tidak disangka, lamaran Qushai disambut baik oleh Hubba. Qushai gembira bukan alang kepalang. Akhirnya ia menikah dengan Hubba, putri Gubernur Makkah.
Qushai kini menjadi bagian dari keluarga besar Hulail. Setelah Hulail meninggal, terjadi peperangan antara Khuza'ah dan Quraisy. Perang ini berkecamuk karena orang-orang Shufah berbuat semaunya sendiri. Mereka berlaku sewenang-wenang. Hal ini membuat orang-orang Quraisy berang. Qushai kemudian mengumpulkan kaum Quraisy dan Kinanah untuk memerangi mereka.
Bani Khuza'ah dan Bani Bakr bersiaga menghadang upaya Qushai dan kawan-kawannya. Akhirnya peperangan tidak terhindarkan. Kedua belah pihak saling menyerang dengan gagah berani dan penuh kebencian. Pertempuran berjalan dahsyat. Banyak yang menjadi korban dari tiap pihak.
Setelah beberapa lama perang berkecamuk, akhirnya kedua belah  pihak sepakat untuk membuat perjanjian damai. Ya'mar bin Auf dari Bani Bakr diangkat sebagai hakim untuk urusan perdamaian ini. Beberapa keputusan dikeluarkan oleh Ya'mar untuk menengahi konflik yang terjadi.
Pertama, menetapkan bahwa Qushai lebih layak menangani urusan Ka'abh dan berkuasa di Makkah daripada Bani Khuza'ah.
Kedua, setiap darah yang tertumpah dari pihak Qushai, merupakan kesalahan Qushai sendiri dan ia harus mempertanggung jawabkannya. Sedangkan, setiap nyawa yang melayang dari Khuza'ah dan Bakr harus mendapat tebusan.
Ketiga, Qushai berhak menjadi pemimpin di Makkah dan menjadi penanggung jawab urusan Ka'bah.
Keputusan Ya'amar tidak memuaskan Bani Khuza'ah dan Bani Bakr karena lebih menguntungkan Qushai dan kaumnya. Oleh karena itulah, Ya'mar dijuluki asy-syadakh (orang yang menyimpang) akibat dari keputsan yang diambilnya tersebut. Qushai berkuasa di Makkah dan mengurusi Ka'bah pada tahun 440 M. Salah satu peninggalannya yang penting ialah Darun NAdwah, semacam parlemennya Quraisy yang terletak di utara Ka'bah. (ar-Rahiqul Makhtum).