Tuesday, October 13, 2015

Quraisy Membujuk Rasulullah Saw

     
   
Berbagai upaya tak henti dilakukan oleh kaum Quraisy agar Rasulullah saw menghentikan dakwahnya. Mereka berembuk untuk mencari cara lain. Hasilnya: mereka mengirim utusan untuk membujuk Rasulullah saw dengan mengajukan sebuah tawaran menarik. Akan tetapi, Muhammad saw tetap bergeming.

     “Aku tidak ada urusan dengan apa yang kalian katakan. Apa yang aku bawa bukan untuk meminta harta dan kekuasaan kalian,” ujar Nabi saw. 

     “Allah telah mengutusku sebagai Rasul, Dia menurunkan Kitab kepadaku, dan memerintahkanku untuk menjadi orang yang memberikan kabar gembira dan kabar tentang ancaman,” nabi Muhammad saw melanjutkan perkataannya. 

     “Aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku mcmberikan nasihat kepada kalian. Jika kalian menerima, kalian akan beruntung dunia dan akhirat. Jika tidak, aku akan bersabar hingga Allah yang memutuskan perkaraku dengan kalian,” tegas Rasulullah saw. 

     Utusan Quraisy tersebut pantang menyerah. Ia lalu meminta Nabi saw berdoa agar Allah membuat gunung-gunung bergeser, membentangkan negeri-negeri untuk mereka, mengalirkan sungai-sungai, serta menghidupkan orang-orang yang telah mati, khususnya Qushai bin Kilâb. 

     “Jika itu mampu engkau lakukan, mereka akan beriman,” kata utusan tersebut. Namun, Rasulullah saw tetap menjawab sama. 

     Utusan Quraisy itu lalu meminta Nabi saw untuk mengutus seorang malaikat yang membenarkan ajarannya. Selain itu, sang malaikat juga diminta untuk membuatkan taman-taman, harta terpendam, serta istana yang terbuat dan emas dan perak untuk utusan Quraisy tersebut.

     “Kami akan beriman jika itu dapat engkau lakukan,” ujar utusan itu lagi. Jawaban Rasulullah saw tidak berubah. 

     Utusan Quraisy itu tak mau menyerah. Mereka lalu meminta kepada Nabi saw agar Rabb-nya mendatangkan suatu azab, yaitu menjatuhkan langit agar mereka hancur berkeping-keping.

     “Hal itu semua adalah kehendak Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan menjatuhkannya,” jawab Rasulullah saw. 

     “Apakah Tuhanmu memberitahukan kepadamu bahwa kami akan duduk bersamamu, lalu kami meminta dan menuntutmu hingga Dia memberitahukan kepadamu apa yang kami minta, dan apa yang akan Dia perbuat jika kami mcnolak!” Utusan Quraisy itu mulai hilang kesabaran. Mereka pun mulai mengancam Nabi saw. 

     “Ketahuilah, demi Allah! Kami tidak akan membiarkanmu dan apa yang kamu lakukan terhadap kami hingga kami membinasakanmu atau kamu membinasakan kami .“

     Mendengar itu, Rasulullah saw bangkit dari duduknya dan pulang ke rumahnya. (Ibnu Hisyâm, Ibnu JarIr, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abñ Hâtim (ad-Dural-Mantsur). 


Menolak Tawaran Quraisy 

     Bujuk rayu tak juga berhasil. Akhirnya Abu Jahal dan kawan-kawan menawarkan jalan tengah kepada Nabi saw. Mereka akan meninggalkan apa yang selama ini mereka pertahankan, tapi hal serupa juga harus dilakukan Rasulullah saw. 

     Tawaran itu disampaikan Aswad bin al-Muthallib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzzâ, al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bin Khalaf, serta al-’Ash bin Wâ’il as-Sahmi, saat Muhammad saw sedang thawaf di Ka’bah. 

     “Wahai Muhammad! Biarkanlah kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat bekerja sama dalam menjalankan urusan ini,” ujar mereka. 

     “Jika yang engkau sembah itu lebih baik daripada apa yang kami sembah, berarti kami telah mengambil bagian kami darinya. Demikian pula jika apa yang kami sembah lebih baik daripada apa yang engkau sembah, berarti engkau telah mendapatkan bagianmu darinya,” lanjut mereka.

     Tawaran mereka dijawab oleh Allah melalui wahyu berikut. 

     Katakanlah! Hai orang-orang yang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Thhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku. (QS. al-Kafirun [109]: 1-6) 


Menghubungi Orang-orang Yahudi 

     Kaum Quraisy kian bingung. Mereka tak tahu harus dengan cara apalagi menghambat laju dakwah Muhammad saw. 

     Jalan terasa gelap. Sampai-sampai salah satu dari mereka, Nadlar bin al-hârits memberi nasihat. 

     “Wahai kaum Quraisy! Demi Allah, sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecil, Muhammad adalah orang yang paling kalian ridhai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian agungkan amanatnya, hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian,” Nadlar bin al-Hârits memulai nasihatnya. 

     “Kalian pernah mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah, dia bukanlah seorang tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka, sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafis (embusan) pada uqad (buhul-buhul) mereka,” kata Nadlar. 

     “Lalu, kalian katakan dia adalah seorang dukun. Demi Allah, dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun, sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantra-mantra) para dukun,” Nadlar melanjutkan. 

     “Lalu, kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair. Demi Allah, dia bukan seorang penyair. Kita telah mengenal semua bentuk syair--rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh, dan mabsuth--sedangkan yang dikatakannya bukanlah syair,” tambah Nadlar lagi. 

     “Terakhir, kalian katakan bahwa dia gila. Demi Allah, dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui hakikat gila dan telah mengenalnya, sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori tertawa terbahak-bahak, kerasukan, ataupun waswas sebagaimana orang gila,” kata Nadlar. 

     “Wahai kaum Quraisy! Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah, sesungguhnya kalian telah menghadapi masalah yang besar,” Nadlar mengakhiri nasihatnya.

     Perkataan Nadlar membuat para pembesar Quraisy tertegun. Selang beberapa lama, mereka memutuskan untuk mengirim Nadlar bin al-Hârits dan beberapa orang lainnya menghubungi orang-orang Yahudi di Madinah. Mereka ditugaskan untuk menanyakan kelanjutan rencana jahat terhadap Muhammad saw. 

     Setibanya di Madinah, Nadlar dan kawan-kawan diberikan tiga pertanyaan oleh rahib Yahudi untuk ditanyakan kepada nabi Muhammad saw. 

     “Jika Muhammad mampu menjawab tiga pertanyaan ini, dia sesungguhnya memang Nabi yang diutus,” ujar rahib. 

    “Pertanyaan pertama,” kata rahib, “Siapa sekelompok pemuda yang telah meninggal pada masa lampau dan bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah mengagumkan.” 

     “Kedua, tanyakan padanya tentang seorang lelaki pengembara yang menjelajahi dunia hingga ke belahan Timur bumi dan belahan Baratnya, bagaimana kisahnya?” lanjut rahib Yahudi. 

     “Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh.” 

     Nadlar segera pulang ke Makkah dengan membawa tiga pertanyaan yang diberikan rahib Yahudi. Setibanya di Makkah, ia sampaikan ketiga pertanyaan itu kepada para pembesar Quraisy Kemudian, pemimpin Quraisy segera menemui Rasulullah saw untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

     Rasulullah saw mampu menjawab tiga pertanyaan yang diajukan pembesar Quraisy. Pertama, Allah menurunkan wahyunya berupa surah al-Kahfi yang di dalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut, yaitu Ashabul Kahfi. Kedua, kisah seorang lelaki pengembara, yaitu Dzul Qarnain. Ketiga, turunlah jawaban tentang ruh yang terdapat di dalam sürah al-Isra’. 

     Jawaban itu membuat pembesar Quraisy tercengang. Namun, apa yang terjadi? Mereka tetap tak mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi pembawa risalah kebenaran. Mereka tak mau mengakui kerasulan Muhammad saw dan tetap dalam kekufuran. (Ibnu Hisyâm). 

     

KISAH ASHABUL KAHFI
Ashhâbul kahfi adalah nama sekelompok pemuda beriman pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi isa. Mereka hidup di tengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja zalim. Suatu saat, sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala. Ia sangat murka dan memerintahkan prajuritnya memanggil para pemuda itu. Setelah bertemu, sang raja memerintahkan mereka untuk menyembah berhala, seperti yang dilakukan sang raja dan rakyat kerajaan itu.
     Namun, Ashhâbul Kahfi menolak sama sekali. Mereka tak mengikuti permintaan sang raja meski tahu risiko yang harus mereka terima. Sang raja lalu memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Ashhâbul Kahfi. Para pemuda beriman itu melarikan din untuk menghindari kejaran pasukan yang ingin membunuh mereka, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah gua. Di gua itulah, mereka bersembunyi.
     Dengan izin Allah, mereka lalu ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka telah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah swt. (lbnu KatsIr; TafsIr aI-Qur’an al-’AzhIm).