Turunnya wahyu kedua, yaitu uirah al-Muddatstsir, membuat Rasulullah saw memasuki tahapan baru dalam berdakwah. Tidak ada lagi waktu bagi Nabi saw untuk beristirahat dan bersantai, hingga akhir hayat. Rasulullah saw berkata kepada Khadijah, “Waktu tidur telah berlalu wahai Khadijah!” Karena telah turun ayat ini:
Bangunlah, lalu berilah peringatan! (QS. al Muddatstsir [74]: 2).
Beliau mulai menyebarkan ajaran Islam secara sembunyi. Cara ini ditempuh karena kaumnya adalah orang-orang yang menjadikan pedang sebagai solusi persoalan. Mereka tidak beragama. Strategi ni sangat tepat agar penduduk Makkah tidak terkejut dengan apa yang akan disampaikan Rasulullah saw.
Dakwah yang sarat duri dimulai. Pertama kali, Rasulullah saw menawarkan Islam kepada orang-orang terdekatnya, keluarga besar, serta para sahabat karibnya. Mereka yang tidak memiliki sedikit pun keraguan terhadap Rasulullah saw langsung menanggapi dengan baik ajakan tersebut.
Dalam sejarah Islam, mereka dikenal sebagai as sabiqun al awwalun (orang-orang yang paling dahulu masuk Islam). Yang paling pertama: Ummul Mumin, Khadijah binti Khuwailid; budak beliau, Zaid bin Hâritsah bin Syarahil al-Kalbi; sepupunya, ‘Ali bin Abi Thâlib, yang ketika itu masih anak-anak dan hidup di bawah tanggungan Rasulullah saw; serta sahabat beliau, Abü Bakar ash-Shiddiq.
Pada tahap awal menyebarkan Islam, nabi Muhammad saw sangat berhati-hati. Beliau tidak menyampaikan kenabiannya kepada sembarang orang, tetapi kepada mereka yang dapat dipercaya.
Khadijah adalah orang pertama yang diajak nabi Muhammad saw memeluk Islam. Ajakan itu langsung diterima Khadijah. Sejak sebelum menikah dan kemudian setelah menjadi istri nabi Muhammad saw, Khadijah sangat memercayai suaminya. Ia yakin bahwa pria yang mendampingi hidupnya itu adalah seorang nabi setelah melihat tanda-tandanya selama ini.
Khadijah bersyahadat sebagai tanda bahwa ia telah memeluk Islam. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Nabi saw sangat senang mendapat dukungan dan istrinya tercinta.
Perintah Shalat
Salah satu perintah pertama Allah kepada Nabi saw adalah shalat, jauh sebelum peristiwa Isrâ’ Mi’râj. Menurut Ibnu Hajar, Rasulullah saw secara qath’i (pasti) pernah melakukan shalat. Begitu pun dengan para sahabat.
Namun, yang diperselisihkan: apakah ada shalat lain yang diwajibkan sebelum shalat lima waktu atau tidak? Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenam matahari.
Turunnya perintah shalat itu diawali kedatangan Jibril. Sang malaikat pembawa wahyu itu mengajarkan tata cara berwudhu pada Rasulullah saw. Ia berwudhu di hadapan Nabi saw dan beliau mengikutinya. Sementara, bila masuk waktu shalat, beliau dan para sahabat pergi ke perbukitan dan mendirikan shalat secara sembunyi—sembunyi. (Ibnu Hisyâm) JibrIl mencontohkan dua pelaksanaan shalat fardhu: yang pertama dikerjakan di awal waktu, yang kedua di akhir waktu. Lalu JibrIl berkata kepada Rasulullah saw, “Shalat itu di antara kedua waktu ini.”
‘Ali Mengikuti Jejak Khadijah
Setelah mendapat perintah shalat, nabi Muhammad saw dan Khadijah sering melakukan shalat di rumah. Hal ini dilihat ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian bcrtanya kepada mereka.
“Apa yang kalian kerjakan tadi?” tanya ‘Ali penuh keheranan.
“Ali, itu adalah shalat yang menjadi cara kami berdoa kepada Allah,” jawab lembut Rasulullah saw. Beliau melanjutkan ucapannya. “Aku adalah nabi yang diutus Allah untuk mengajakmu hanya beribadah kepada Allah.”
‘Ali hanya diam. Ia tampak merenungi apa yang diucapkan sepupunya itu. Tidak lama berselang, ia menjawab. “Berilah aku waktu untuk berpikir,” kata ‘Ali yang masih anak-anak.
Pada hari berikutnya, Rasulullah saw bertanya kembali’ kepada ‘Ali.
“Bagaimana, ‘All?”
“Ulangi apa yang engkau bicarakan kemarin, wahai Muhammad,” jawab ‘Ali.
Rasulullah saw mengulanginya dan akhirnya ‘Ali bersyahadat, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah utusan Allah.”
Setelah Khadijah dan ‘Ali, orang yang masuk Islam berikutnya adalah Zaid, budak yang diasuh oleh Rasulullah saw.
Abu Bakar Masuk Islam
Abu Bakar adalah saudagar yang kaya raya, jujur, dan berakhlak mulia. Setelah nabi Muhammad saw, ia adalah orang yang paling dipercaya di Makkah. Kisah masuk Islamnya berawal ketika dia mendapat kabar dari tetangga-tetangganya tentang Muhammad menjadi nabi, setelah ia kembali ke Makkah usai berdagang.
Berita tentang dakwah Islam memang diketahui oleh orang-orang Quraisy meski nabi Muhammad saw melakukannya dengan sembunyi. Itu terjadi setelah mereka melihat beberapa kejadian di sana-sini. (ar-Rahiqul Makhtum)
Menurut Muhammad al-Ghazali, meski kabar tentang dakwah Islam telah menyebar, tetapi orang-o rang Quraisy masih tak peduli. Mereka menduga bahwa Muhammad sama seperti Umayyah bin ash-Shallat, Qus bin Sa’idah, Amr bin Nufail, dan lainnya yang peduli terhadap urusan agama.
“Muhammad mengaku menjadi nabi. Ia meminta kita untuk tidak menyembah berhala lagi, tapi kita tak akan pernah meninggalkan berhala-berhala kita,” kata para tetangga Abu Bakar.
Kemudian mereka meminta Abu Bakar untuk menemui Muhammad.
“Kami telah menanti-nanti kedatanganmu. Temui Muhammad dan lakukan apa pun yang engkau sukai!”
Abu Bakar tercengang mendengar itu. Ia bergegas pergi menuju kediaman sahabatnya, nabi Muhammad saw. Setiba di sana, ia disambut Rasulullah saw dengan senyum mengembang. Abu Bakar langsung mencecar beliau dengan pertanyaan.
“Wahai Abi Qâsim, apa benar engkau telah mengaku sebagai nabi kepada orang-orang di sini? Apa benar engkau tidak mau menyembah berhala dan tidak akan memeluk agama penduduk Makkah?” tanya Abu Bakar. Ia biasa memanggil Nabi saw dengan “Abu Qâsim” yang artinya “ayah Qâsim”. Qâsim adalah salah satu putra nabi Muhamm ad saw.
“Betul, Abu Bakar. Aku adalah nabi yang diutus untukmu dan semua manusia. Aku ingin semua manusia beriman dan men yembah Allah Yang Esa. Aku ingin engkau juga beriman,” jawab nabi Muhammad saw penuh kehangatan.
Abu Bakar menyimak dengan cermat apa yang diucapkan nabi Muhammad saw. Tidak sedikit pun keraguan ada di dalam dirinya. Ia yakin, perkataan itu benar karena Rasulullah saw tidak pernah berbohong. Tanpa banyak cakap, Abü Bakar langsung bersyahadat.
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Rasulullah saw terlihat gembira usai Abü Bakar berikrar. Beliau peluk dengan erat tubuh AbñuBakar. Kini, bertarnbah lagi manusia yang memeluk Islam dan itu adalah Abu Bakar, sosok yang sangat dihormati di Makkah.
Abü Bakar sangat bersemangat mendakwahkan Islam. Ia sosok yang ramah, luwes, dan berbudi luhur. Para tokoh kaumnya sering datang berkunjung untuk menemui Abü Bakar.
Setelah satu minggu Abü Bakar masuk Islam, ada enam orang yang berhasil diislamkan olehnya. Mereka adalah enam dan 10 orang yang dijanjikan oleh Allah masuk surga, yaitu ‘Utsmân bin ‘Affân, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwâm, Abdurranman bib Auf, Sa'ad bin Abi Waqqâsh, dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah.
PEMELUK ISLAM DARI SUKU QIJRAISY
Di luar keluarga dan sahaba terdekat Nabi saw, ada nama-nama lain yang merupakan generasi Islam pertama. Dari kaum Quraisy antara lain:
1. Abu ‘Ubaidah bin ‘Amir bin Jarrâh, yang berasal dan suku Bani Hârits bin Fihr;
2. Abü Salamah bin ‘Abdul Asad al-Makhzümi beserta istrinya;
3. ‘Utsmân bin Mazh’un beserta kedua saudaranya, Qudamah dan ‘Abdullâh;
4. ‘Ubaidah bin Hârits bin al-Muthallib bin ‘Abdu Manâf;
5. Said bin Zaid al-’Adawi dan istrinya;
6. Fâthimah binti al-Khaththâb al-’Adawiyyah, saudara perempuan ‘Umar bin Khaththâb;
7. Khabbâb bin al-Arts at-Tamimi;
8. Ja’far bin Abi Thâlib dan istrinya, Asma’ binti ‘Umais;
9. Khâlid bin Sa’id bin ‘Ash al-Umawi beserta istrinya, Aminah binti Khalaf, dan saudaranya, ‘Amr
bin Sa’id bin ‘Ash;
10. Hâthib bin Hârits al-JahmI dan istrinya, Fâthimah binti al-Mujallal, serta saudaranya, Khaththâb bin Hârits beserta istrinya, Fakihah binti Yasar, juga saudaranya, Ma’mar bin Hârits;
11. Al-Muthallib bin Azhar az-Zuhri bersama istrinya, Ramlah binti Abi ‘Auf; Na’im bin ‘Abdullâh Naham al-Adawi.
Sehelai rambut pada janggut Abu Bakar, yang disimpandalam sebuah wadah penyimpanan yang disimpan di Topkapi Palace Museum, Istanbul, Turki |
Agama Islam lambat laun mulai menyebar ke seantero Makkah melalui hubungan persaudaraan dan persahabatan. Tak sedikit penduduk Makkah yang masuk Islam pada masa dakwah sembunyi ini, termasuk beberapa budak. Salah satunya adalah Bilal bin Rabah al-Habsyi.
PEMELUK ISLAM PERTAMA DARI SUKU NON-QURAISY
1. ‘Abdullâh bin Mas’ud al-Hudzali; 2. Mas’ud bin Rabi’ah al-Qari; 3. ‘Abdullâh bin Jahsy al-AsaiI beserta saudaranya, Abu Ahmad bin Jahsy; 4. Bilâl bin Rabâh al-Habsyi; 5. Shuhaib bin Sinan ar-Rumi; 6. ‘Ammâr bin Yasir al-’Ansi, bersama ayahnya, Yasir, serta ibunya, Sumayyah; 7. Amir bin Fuhairah.
Dilihat dari nama-nama yang memeluk Islam pada masa awal dakwah mi, terdapat banyak tokoh terkemuka. Dr. Ramadhan Buthi dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan, dari 67 orang pertama yang masuk Islam, hanya 13 orang dari kaum budak, fakir miskin, hamba sahaya, dan orang-orang non‘ Arab. Sisanya adalah dari orang-orang terpandang dan terhormat.
Fakta ini sekaligus merobohkan benteng tuduhan kaum orientalis yang mengatakan bahwa kelompok pemeluk Islam pertama berasal dari kaum dhuafa dan budak. Mereka memeluk Islam, menurut kaum orientalis, dengan tujuan membebaskan din dan statusnya sebagai budak.
Sejarah mencatat, kaum budak mi mendapat banyak siksaan setelah memeluk Islam. Kebanyakan mereka disiksa di tempat umum sehingga menjadi tontonan penduduk Makkah. Namun, kekuatan iman dan aqidah mereka mampu mengalahkan siksa yang mendera. Bangunan iman mereka tidak runtuh meski rasa sakit tak terlukiskan menghujani mereka dari seluruh penjuru.
Hikmah Dakwah secara sembunyi
1. Dakwah secara sembunyi harus dilakukan ketika seorang da’i dianggap aneh oleh sebagian orang. Saat ada orang-orang yang mau membenarkan dakwahnya dan mengorbankan harta sertajiwanya dijalan dakwah, maka dakwah sembunyi harus diakhiri. Mereka mi dapat melanjutkan estafet sehingga aktivitas dakwah terus berlangsung.
2. Seorang da’i harus mengutamakan keluarga dekatnya dalam berdakwah. Jika mereka menolak, selesai sudah tanggung jawab seorang dai. Jika melihat ada bahaya yang mengancam kehidupan dan akidah umat, da’i harus menyiapkan tempat yang aman dan jangkauan musuh agar misi dakwah tetap terjamin. Karena, jika tidak diamankan, sedangkan jumlah dan kekuatan masih sangat minim, musuh dapat menghabisi mereka dan melarang dakwahnya.