Thursday, September 3, 2015

Berperan Dalam Perang Fijar

Saat Rasulullah saw berusia 14 atau 15 tahun, terjadi perang---antara 
orang-orang Quraisy dan Kinanah melawan kabilah Qais ‘Ailân--yang kemudian dikenal dengan Perang Fijâr. 
Ada empat kejadian yang melatar belakangi terjadinya Perang Fijâr. Pertama, konflik yang terjadi karena seseorang dan Bani Qais berutang kepada Bani Kinânah dan tidak membayarnya dalam waktu lama. Namun, peristiwa pertama mi masih dapat diselesaikan tanpa peperangan. 
Kedua, kejadian di Pasar ‘Ukâzh. Ketika itu, ada seseorang dan Bani Kinânah membanggabanggakan dirinya di hadapan Bani Qais. 
Ketiga, adanya peristiwa penodaan terhadap seorang gadis jelita dari Bani Qais oleh seorang pemuda Makkah. Peristiwa pelecehan itu didengar oleh orang-orang Bani Qais. Mereka marah dan berusaha menuntut balas. Mereka sepakat untuk menyerang pemuda Makkah tersebut. 
Keempat, seorang dan Bani Kinânah yang bernama al-Burâdh, membunuh tiga orang dari kabilah Qais ‘Ailân. Kabar ini sarnpai ke Pasar ‘Ukâzh, sehingga terjadilah ketegangan antara kedua kabilah itu. Penistiwa inilah yang memantik terjadinya Perang Fijâr. 
Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang kabilah Quraisy dan Kinânah. Menjelang siang, perang pun berkobar. Di awal hari itu, kabilah Qais meraih kemenangan. Namun, pada pertengahan hari, keadaan berbalik. kabilah Quraisy dan Kinâah berhasil mengalahkan kabilah Qais. Sebagian orang Quraisy mengusulkan perundingan dengan cara menghitung jumlah korban. Pihak yang jumlah korbannya paling banyak, harus membayar diyat (denda) yang lebih banyak pula. Usulan itu diterima. Akhirnya, mereka pun berdamai sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Perang pun dihentikan dan rasa permusuhan antara mereka ditiadakan. 
Perang ini dinamakan “Perang Fijâr” karena ternodainya kesucian bulan-bulan Haram, yaitu awal bulan Dzulqa’dah. Dalam perang ini, Rasulullah saw membantu para pamannya menyediakan anak panah. (Ibnu Hisyam) 
Muhammad ikut andil dalam sebagian tahap Perang Fijâr. Beliau menyertai para pamannya dalam pertempuran. Muhammad menuturkan, “Aku membalas serangan panah musuh begitu mereka menghujani pamanku dengan anak panah.” 

Posisi Perang Fijar
Posisi perang fijar dan kabilah yang ikut berperang


Hilful Fudhul 
Perang Fijâr menghasilkan sebuah perjanjian yang disebut dengan Hilful Fudhul. Perjanjian tersebut disepakati oleh kabilah yang bertikai pada bulan suci Dzulqa’dah. Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya. Bani Hsyim, Bani al-Muthallib, Asad bin ‘Abdul ‘Uzzâ, Zahrah bin Kilâb, dan Taim bin Murrah, semuanya hadir. Mereka berkumpul di rumah ‘Abdullâh bin Jud’ân at t aiiI untuk berunding mengakhiri pertikaian. 
Di antara isi perjanjian tersebut: berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizalimi di Makkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Apabila hal itu terjadi, mereka akan bergerak menolongnya hingga orang yang dizalimi tersebut memperoleh haknya kembali. 
Di antara orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut, tarnpak seorang anak muda. Dialah Muhammad. Peristiwa bersejarah itu tak dilupakan oleh Muhammad hingga dewasa. Setelah beliau diangkat menjadi Rasul Allah, beliau mengisahkan kejadian tersebut kepada para sahabat. 
“Aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman ‘Abdullâh bin Jud’ân, yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Ni’am (unta merah yang merupakan harta termahal kebanggaan bangsa Arab ketika itu). Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya,” ujar beliau. 


PENGARUH HILFUL FUDHUL Pengaruh Hilful FudhuI terlihat saat seseorang dari kabilah Zabid datang ke Makkah, membawa barang dagangannya. Barang dagangannya dibeli al-’Ash bin Wâ’il as-Sahmi. Namun, al-’Ash tidak memenuhi hak si pedagang. Orang itu meminta bantuan kepada sekutu-sekutu al-’Ash, tetapi mereka tidak mengacuhkannya.
Si pedagang kemudian menaiki Gunung AbI Qubais dan menyenandungkan syair yang berisi kezaliman yang tengah dialaminya, sambil berteriak dengan keras. Rupanya, Zubair bin ‘Abdul Muthallib mendengar senandung syair memilukan itu.
“Mengapa orang mi tidak diacuhkan?” seru Zubair.
Tak berapa lama, berkumpullah semua kabilah yang menyetujui perjanjian Hilful Fudhul. Mereka lalu mendatangi al-’Ash bin Wâ’il dan memaksanya untuk menunaikan hak orang Zabid tersebut. Akhirnya, hak orang Zabid dipenuhi sesuai isi perjanjian. (Thabaqât Ibnu Sa’ad) 

Hikmah Perang Fijâr 
Keadilan adalah nilai yang mutlak harus ditegakkan. Saat api Perang Fijâr meredup, Muhammad juga ikut mendukung prinsip keadilan yang diusung kabilah Kinãnah dan Qais. Keputusan baik harus dijunjung tinggi, meski Ia berasal dari bangsa Jahiliyah. HiIful Fudhul bak oasis di padang pasir Jahiliyah. Ia menjadi bukti bahwa kebobrokan dalam sebuah sistem tidak berarti di sana sama sekali tidak ada nilai-nilai moralitas. Makkah dulu terkenal dengan komunitas Jahiliyah yang tidak beradab dan penduduknya menyembah berhala. Praktik riba dan zina menjadi menu harian mereka. Namun, ada sekelompok orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Mereka membenci dan mengingkari segala bentuk kezaliman. 
Seorang Muslim wajib berperan aktif dalam Iingkungannya, bukan hanya ikut-ikutan dan ada di pinggiran. Nabi Muhammad saw menjadi figur sentral dalam komunitasnya. Beliau menjadi teladan utama bagi masyarakatnya sehingga mendapat julukan al-Amin. Mereka semua amat mencintai Rasul karena keluhuran akhlaknya yang Allah anugerahkan kepada beliau. Suasana mi menggambarkan kepada kita, bahwa nilai-nilai moral dalarn komunitas Nabi saw benar-benar dijunjung tinggi.