Wednesday, October 14, 2015

Hijrah ke Habasyah

     Makkah masih diselimuti gelap. Udara dingin menusuk tulang sumsum. Angin berembus menerbangkan debu padang pasir ke segala arah. Malam itu, sekitar 100 orang terlihat sibuk di sebuah sudut Makkah. Mereka adalah rombongan pertama kaum Muslim yang akan berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Rombongan dipimpin ‘Utsmân bin ‘Affan dan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah saw, Ja’far bin Abu Thâlib, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Ummu Habibah binti Abu Sufyan.

     Setelah semuanya siap, mereka mulai berjalan menembus gulitanya malam. Tatapan sedih terlihat dari sanak keluarga dan sahabat yang ditinggalkan. Air mata menetes di setiap sudut mata orang yang hadir. 

     Usai dilepas Rasulullah saw, rombongan kaum Muslim mulai berjalan menuju Habasyah. Mereka terus melangkahkan kaki menuju pelabuhan Syuaibah untuk menghindari kecurigaan kaum Quraisy. Mereka harus segera sampai di sana sebelum malam menghilang. Rasa kantuk mereka lawan. Dinginnya malam tidak memadamkan bara semangat yang berkobar di dalam jiwa. Mereka ingin segera tiba di Habasyah.

     Kepergian mereka ternyata diketahui oleh kaum Quraisy. Tanpa menunggu lama, kaum Quraisy segera mengejar. Pedang mereka terhunus. Wajah mereka penuh dendam. Mereka tidak putus-putus menghela tunggangannya dengan kecepatan tinggi untuk mengejar kaum Muslim. 

     Beruntung usaha mereka tak berhasil. Kaum Muslim telah tiba di Pelabuhan Syuaibah. Namun, sebuah masalah telah menghadang di depan mata: dengan apa mereka ke Habasyah? Mereka tak punya perahu atau kapal untuk berlayar. 

     Di saat kaum Muslim sedang digayuti kebingungan, suatu pertolongan Allah datang. Ternyata, di pelabuhan itu terdapat dua kapal dagang yang bersiap menuju Habasyah. Pekik takbir berkumandang sebagai wujud syukur. Mereka pun berlayar dengan kapal tersebut. Setibanya di Habasyah, mereka disambut dengan sukacita dan dilayani dengan baik. 

     Rasulullah saw memutuskan menghijrahkan kaum Muslim ke Habasyah setelah situasi di Makkah kian membahayakan. Tidak ada lagi tempat di Makkah yang luput dari pantauan kaum musyrik. Para pengikut Nabi saw kerap disiksa. Itu terjadi pada pertengahan tahun ke-5 masa kenabian. Situasi yang genting itu dijawab oleh Allah melalui wahyu-Nya berikut.

     Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sungguh, hanya orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. az-Zumar[39]: 10) 

Peta Hijrah Kaum Muslimin ke Habasyah
Peta Hijrah Kaum muslim ke Habasyah
HABASYAH BUKAN TUJUAN HJJRAH Sebagian para peneliti dan pakar sejarah berpendapat, sesungguhnya nabi Muhammad saw tidak terlalu setuju jika kiabasyah dijadikan tujuan hijrah, dengan beberapa alasan: 1. Nabi pernah berpendapat bahwa tanah yang layak untuk dijadikan tempat hijrah itu memiliki tanaman kurma serta mengandung vulkanik. Beliau menganggap tanah Habasyah tidak subur (kering). 2. Secara geografis, Habasyah adalah tanah dataran rendah dan itu merupakan hambatan bagi tersebarnya Islam dan sangat sulit untuk melebarkan sayap kekuasaan. 3. Pilihan JazIrah ‘Arab (Makkah dan Madinah) sebagai tempat turunnya wahyu dan pijakan awal bagi perkembangan Islam bukan faktor kebetulan, tetapi karena tanah-tanah tersebut memiliki berbagai macam karakteristik. 4. Kondisi lingkungan Habasyah tidak mengiz inkan tumbuhnya agama baru dan bersanding dengan agama lama (Masehi). Roma yang saat itu menguasai agama Kristen di dunia juga tidak mengizinkan Habasyah menerima kaum Muslim. 
    

     Di mana Habasyah? Habasyah adalah sebuah negeri di Afrika yang penduduknya beragama Nasrani dan dipimpin oleh Ashimah an-Najasyi, seorang raja yang adil. Di wilayah kekuasaannya, tidak ada seoran pun yang terzalimi (Sunan al-Kubrá). Hai itu terbukti dari pelayanan yang dilakukan masyarakat Habasyah kepada rombongan pertama kaum Muslim. 

     Selama di sana, kaum Muslim hidup dengan bekerja keras dan tidak mengharapkan belas kasih orang lain. Mereka membuat kerajinan dari kulit yang sangat disukai penduduk Habasyah yang membuat penduduk Habasyah mencintai kaum Muslim. 

     Hijrah ini memberikan pesan kepada tiga pihak sekaligus: 

1. An-Najasyi, pemimpin Habasyah: bahwa Nabi saw tidak mengutus orang-orang miskin, tetapi yang diutusnya adalah para pemimpin Quraisy. 
2. Quraisy: bahwa perlakuan mereka selama ini tidak mampu menghalangi risalah Islam. 
3. Orang-orang miskin yang ikut hijrah: bahwa Nabi saw tidak mengecilkan peranan mereka. Sebab, di antara mereka ada putri Nabi saw bernama Ruqayyah dan saudara sepupunya yang bernama Ja’far. 
Jarak Masjidil Haram ke Habasyah
Peta Google menunjukkan letak Masjidil Haram dan Habasyahyang berjarak sekitar 1.423,92 KM

Kaum Musyrik Bersujud 
     Sepeninggal 100 orang Muslim yang hijrah ke Habasyah, Nabi saw dan pengikutnya terus berdakwah di Makkah. Suatu hari, di bulan Ramadhan pada tahun yang sama dengan penistiwa hijrah, beliau pergi ke Masjid al-Harâm. Di sana, sedang berkumpul para pembesar kaum Quraisy.

     Tiba-tiba, Rasulullah saw berdiri di tengah-tengah mereka. Para pembesar Quraisy terperanjat. Mereka tak menduga Muhammad berani melakukan itu. Belum habis keterkejutan mereka, Nabi saw membuka mulutnya melantunkan surah an-Najm. Ini adalah kali pertama kaum musyrik mendengarkan ayat al-Qur’an. 

     Bacaan sctrah tersebut benar-benar indah, agung, dan menawan, tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Para pembesar Quraisy yang mendengarnya tertegun, diam seribu bahasa. Bibir mereka kelu. Lidah mereka kaku. Kepala mereka tertunduk. Keangkuhan mereka sirna seketika. Dinding telinga mereka yang selama ini tertutup rapat, tiba-tiba seolah-olah terkuak lebar. Mereka hanyut dalam irama lantunan ayat al-Qur’an. 

     Tanpa mereka sadari, Rasulullah saw telah sampai pada ayat terakhir. Bunyi ayat itu kian membuat jiwa dan hati mereka membubung tinggi ke angkasa luas tak bertepi. 

     Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia. (QS. an-Najm [53]: 62) 

     Setelah mengucapkan ayat itu, Rasulullah saw kemudian bersujud. Melihat hal itu mereka pun bersujud, mcncium tanah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu menahan diri untuk tidak ikut bersujud. Mereka semua bersujud bersama Nabi saw. (HR. Bukhâri).

     Sesaat setelah sujud, mereka mulai menyadari apa yang baru saja mereka lakukan. Mereka tidak ingin ada orang yang mengetahui kejadian tadi. Namun, peristiwa itu dengan cepat menyebar ke seantero Makkah. Mereka pun dikecam teman-teman mereka. Untuk menjaga gengsi dan mengalihkan perhatian, orang-orang musyrik memunculkan fitnah keji. Mereka mengatakan bahwa sujud yang dilakukan saat itu adalah sujud kepada berhala. 

     “Itulah al-Gharaniq yang mulia, yang syafaatnya selalu diminta,” ujar mereka. 

Kaum Muslim Kembali ke Makkah 
     Peristiwa sujud itu terdengar sampai ke Habasyah. Namun, kabar yang diterima kaum Muslim di sana adalah tentang kaum Quraisy yang masuk Islam. Mereka bergembira mendengar berita tersebut. Tanpa menunggu lama, sebagian dari mereka kembali ke Makkah pada bulan Syawal di tahun yang sama. 

     Namun, saat tiba di wilayah yang tidak jauh dari Makkah, mereka terkejut. Ternyata, berita yang sampai ke mereka tak benar. Mereka kecewa sehingga sebagian di antara mereka ada yang kembali ke Habasyah dan sebagian lagi ada yang meneruskan perjalanan ke Makkah secara diam-diam. 
     
     Seorang dari suku Quraisy, yaitu ‘Utbah bin Rabi’ah Abu al-Walid, memberikan perlindungan kepada mereka yang memilih pergi ke Makkah. (Ibnu Hisyâm, Zadul-Ma’ad). 

     ‘Utsmân bin Madh’un adalah seorang dari kaum Muslim yang dilindungi ‘Utbah. ‘Utsmân melihat para sahabat lainnya dipukuli dan dihina oleh orang-orang kafir, sementara dia sendiri tidak disiksa karena dilindungi oleh ‘Utbah. ‘Utsmân lalu menemui ‘Utbah bin Abu al-Walid. 

     “Aku telah menemukan perlindungan yang lebih baik dan lebih agung daripada perlindunganmu!” 

      “Siapakah itu?” tanya ‘Utbah. 

     “Perlindungan Allah,” jawab ‘Utsmân. 

     ‘Utsmân lalu pergi ke Ka’bah. Di tern- pat itu, ada seorang penyair yang sedang melantunkan syair. ‘Utsmân lalu memotong perkataan penyair itu sebanyak dua kali. 

     Lalu penyair itu bertanya kepadanya, 

     “Apakah engkau mendustakan syair?” 

     “Biarkanlah dia. Dia dalam perlindungan Abu al-Walid,” kata orang-orang di sekitarnya.

     Mendengar itu, ‘Utsmân lalu berkata, “Aku sudah tidak dalam perlindungan ‘Utb ah.” 

     Akhirnya ‘Utsmân dipukuli. Kian lama kian banyak pukulan yang mendarat di sekujur tubuhnya. Sekujur tubuhnya penuh luka, tapi ‘Utsmân tetap tegar. Rasa sakitnya tak ia rasakan. Ia justru berkata lantang sambil menahan rasa sakit. 

    “Segala puji bagi Allah, aku disakiti sebagaimana para sahabat Rasulullah disakiti.” 

    “Lalu siapa yang melindungimu, lihatlah matamu,” kata ‘Utbah.

     “Demi Allah, mataku yang lain menjadi rindu karena perbuatan saudarinya,” jawab ‘Utsmân. 

     Penderitaan ‘Utsmân didengar Nabi saw. Dengan cepat, beliau mencari ‘Utsmân. 

     “Di manakah ‘Utsmân?” 

     Beliau terperanjat setelah bertemu ‘Utsman. Wajah ‘Utsmân babak belur. Matanya bengkak karena dihujani pukulan. Rasulullah saw lalu mengusap kedua mata ‘Utsm an dengan penuh kasih sayang. Seketika itu juga, kedua mata ‘Utsmân sembuh. 
Setelah peristiwa itu, kaum Quraisy kian bertindak keji. Mereka meningkatkan penyiksaan kepada kaum Muslim. Tindakan itu mereka lakukan karena merasa terganggu dengan berita yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi dan rakyatnya memperlakukan kaum Muslim dengan baik. 

Sisa-Sisa Bangunan Kerajaan Habasyah
Sisa-sisa bangunan kerajaan Habasyah

Hijrah Kedua 
     Hijrah perrama ke Habasyah dianggap sukses. Rasulullah saw lantas memutuskan memberang katkan rombongan kedua yang lebih besar, terdiri atas 83 orang laki-laki dan 18 wanita. (Zad al-Ma’ad). 

     Namun, perjalanan hijrah kali ini jauh lebih sulit karena kaum Quraisy telah mengetahuinya dan berniat menggagalkannya. 

     Namun, pertolongan Allah kembali datang. Kaum Muslim selamat dari kejaran kaum musyrik. Mereka tiba lebih dulu di Habasyah. 

     Kaum Quraisy tak rnenyerah. Mereka mengirim dua orang diplomat ulung: ‘Amru bin al-Ash dan ‘Abdullah bin Abu RabI’ah (sebelum keduanya masuk Islam). Keduanya membawa hadiah dari pemuka Quraisy untuk Najasyi dan para uskupnya. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memberi hadiah para uskup dan berusaha memengaruhi mereka dengan memberikan alasan Najasyi, menyerahkan hadiah, dan membujuk Najasyi. 

     “Wahai tuan raja, sungguh beberapa orang yang masih bau kencur dan bodoh telah memasuki negeri tuan. Mereka meninggalkan agama kaumnya dan tak memeluk agamamu. Mereka membawa agama baru yang tidak diketahui kami dan tuan sendiri,” ujar ‘Amru dan ‘Abdullah. Keduanya melanjutkan bujuk rayunya. 

     “Kami di sini, sebagai utusan kepadamu. Di antara orang yang mengutus kami, ada pemuka kaum mereka dan nenek moyang dan paman-paman mereka. Mereka minta agar tuan mengembalikan para pendatang iru pada mereka,” kata para utusan Quraisy. 

     Para uskup menanggapi. 

     “Benar apa yang dikatakan oleh keduanya, wahai tuan raja! Serahkanlah mereka agar keduanya membawa mereka pulang.” 

     Najasyi tertegun beberapa saat. Omongan kedua utusan Quraisy dan para uskup tak langsung membuatnya terpengaruh. Ia lantas memrintahkan untuk memerintahkan untuk memanggil perwakilan kaum Muslim. Lalu, datanglah utusan kaum Muslim. Najasyi pun bertanya kepadanya.

     “Siapa yang akan menjadi wakil kalian?” 

     “Saya yang akan menjadi juru bicara,” kata Ja’far bin Abu Thalib. Ia memperkenalkan diri sebagai anak dan paman Rasulullah saw dan cucu ‘Abdul Muthallib yang menghadapi Abrahah. 

     “Agama apa yang sanggup memisahkan kalian dan kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama yang lain?” 

     “Islam,” jawab Ja’far. 

     “Jelaskanlah tentang Islam kepadaku.” 

     “Wahai paduka raja. Kami sebelumnya hidup dalam jahiliyah. Orang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami melupakan hak-hak bertetangga dan memutus silaturahim, hingga datang seorang laki-laki yang kami ketahui nasab, akhlak, dan sifat amanahnya,” jawab Ja’far.

     “Dia mengajak kami agar masuk Islam, berkata dengan jujur, menyampaikan amanah, menyambung silaturahim, dan berbuat baik terhadap tetangga,” lanjut Ja’far. 

     “Namun, apa yang terjadi pada kami?” kata Ja’far. “Kaum kami memusuhi diri kami, mereka berbuat zalim kepada kami, menindas dan menyiksa kami,” tegas Ja’far. 

     “Akhirnya, Nabi kami memerintahkan untuk pergi ke Habasyah karena di situlah tanah kejujuran. 

     Di situ ada seorang raja yang tidak pernah berbuat zalim terhadap siapa pun. Lalu kami pergi ke tanahmu dan memilihmu, bukan yang lain,” Ja’far mengakhiri kalimatnya.

     “Apakah ada sesuatu yang dibawa Muh ammad dan Allah bersama kalian?” tanya Najasyi.

     “Ya, ada!” jawab Ja’far bin Abi Thâlib. 

     “Tolong bacakan!” pinta Najasyi. 

     Ja’far diam sejenak. Ia mengambil napas. Seisi ruangan terdiam. Beberapa saat kemudian, Ja’far mulai menggerakkan bibirnya, membacakan surah Maryam, “Kaf-ha-ya-ain-shad.”(QS. Maryam [19]: 1), dan seterusnya. 

     Suaranya terdengar indah. Ummu Salamah yang menyaksikan peristiwa itu melihat Najasyi menangis, air mata membasahi jenggotnya. Para uskup pun tertunduk haru. Air mata mereka membasahi mushaf yang mereka bawa. Sementara, Ja’far terus melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Kesyahduan menyergap. 

     Setelah Ja’far selesai membaca al-Qur’an, Najasyl berkata kepada kaum Muslim. 

     “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh Isa adalah bersumber dari satu lentera,” katanya dengan mata yang masih sembap. 

     Lalu Najasyi memerintahkan kedua utusan Quraisy untuk segera meninggalkan Habasyah. 

     “Pergilah kalian. Sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan itu tidak akan terjadi.” 

     Keduanya pun keluar. Namun, sebelum keluar, ‘Amru bin al-Ash sempat berkata kepada ‘Abdullah bin Rabi’ah. 

     “Demi Allah! Sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan mereka dan akan aku bantah alasan mereka sebagaimana aku menghabisi ladang mereka,” tekad ‘Amru.

     “Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan silaturahim dengan kita, sekalipun mereka menentang kita,” jawab ‘Abdullah bin Rabi’ah. Namun, ‘Amru tetap berkeras mendatangi Najasyi. 
  
    “Wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap Isa bin Maryam,” kata ‘Amru membujuk Najasyi. 

     Sang raja akhirnya mengirim utusan kepada kaum Muslim untuk mempertanyakan hal itu. Kaum Muslim kaget. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk berkata jujur apa pun yang terjadi. Mereka kembali menghadap Najasyi dan Ja’far dit unjuk sebagai juru bicara. 

     “Kami mengatakan tentang Isa sebagaimana yang dibawa oleh Nabi kami, dia (Isa) adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan pada Maryam, si perawan yang ahli ibadah,” tegas Ja’far kepada raja. 

     Najasyi lalu memungut sebatang ranting pohon dan tanah. Ia kcmudian berujar,

     “Demi Allah, apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi isa bin Maryam meski seukuran ranting ini.” 

     Mendengar itu, para uskup berdengus, Najasyi langsung berkata, “Demi Allah, Sekalipun kalian berdengus.” 

     “Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kah an, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku tidak akan menyakiti siapa pun di antara kalian, meski aku memiliki gunung emas,” ujar Najasyi lagi. 

     “Kembahikan hadiah itu. Aku tak membutuhkannya. Demi Allah, Dia tidak meminta uang sogokan dariku saat dia mengembalikan kerajaan ini padaku, sehingga aku perlu mengambil uang sogok setelah mendapat kekuasaan itu. Orang-orang tak perlu patuh karena aku, sehingga aku pun harus patuh karenanya,” ucap Najasyi. 

     Wajah ‘Amru dan ‘Abdullah berubah kusam. Mereka pun akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Setelah peristiwa itu, kaum Muslim menetap di Habasyah dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling baik. (Ibnu Hisyâm). 

Hikmah Hijrah ke Habasyah 
1. Berbagai penderitaan dan siksa keji yang mendera kaum Muslim tidak membuat akidah mereka goyah, justru kian kukuh dan ini bukti atas ketulusan iman, keikhlasan akidah, dan keluhuranjiwa. 

2. Tujuan hijrah ke Habasyah sangat beragam. Untuk merealisasikannya, Nabi saw merancang secara rinci strateginya. Pada tahap pertama, hijrah dilakukan oleh para pembesar sahabat, kemudian diikuti para sahabat lainnya dan beliau menempatkan Ja’far sebagai wakilnya. Keberadaan Ja’far (anak paman Rasulullah saw), menantunya (‘Utsmân), dan putrinya (Ruqayyah), dalam pemberangkatan tahap pertama ke Habasyah, menghadapi risiko harus ditanggung terlebih dahulu oleh orang-orang terdekat Nabi saw. Itulah bagian dan strategi Nabi saw. Beliau tidak mau mengorbankan orang lain, sebelum diri dan keluarganya melangkah. 

3. Keluar dari tanah air menuju negara non-Muslim disyariatkan oleh Islam demi menyelamatkan agama, meskipun tanah air tersebut Makkah, tanah yang dimuliakan Allah swt. 

4. Nabi saw membidik Habasyah sebagai sasaran hijrah sangat strategis. Beliau benar-benar memahami negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan yang tersebar di sekitar dataran Arab. Beliau mengetahui mana yang bagus dan mana yang buruk, mana raja yang zalim dan mana raja yang adil. Itulah yang seharusnya dimiliki oleh sang pelopor dakwah. Dia harus mengetahui betul apa yang terjadi di sekitarnya, kondisi, aktivitas masyarakat, dan pemerintah sekitarnya.