Thursday, October 15, 2015

Ancaman Kaum Quraisy

     
Ancaman Kaum Kafir Quraisy
   
Para tokoh Quraisy kembali mendatangi Abü Thâlib. “Wahai Abu Thâlib! Kami menghargai usia, kebangsawanan, dan kedudukanmu. Kami juga telah memintamu untuk menghentikan kegiatan kemenakanmu itu, tapi engkau tidak melakukannya. Demi Allah! Kami tak mampu bersabar atas perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami, dan mencemooh tuhan-tuhan kami, hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita akan melihat siapa di antara kita yang akan binasa.”

     Ancaman keras itu sempat membuat nyali Abu Thâlib ciut. Dia menemui Rasulullah saw. 

     “Wahaj kemenakanku! Kaummu telah mendatangiku dan mengatakan begini dan begitu. Karena itu, berdiamlah, demi kemaslahatanku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tidak mampu aku lakukan!” 

     Nabi saw mengira bahwa hal itu pertanda pamannya telah mengucilkan dan tidak mampu lagi memberikan perlindungan bagi dirinya. 

     “Wahai pamanku! Demi Allah! Andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya, atau aku binasa karenanya, aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.” 

     Rasulullah saw lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Melihat itu, sang paman memanggil dan menghampiri beliau. 

     Pergilah wahai kemenakanku! Katakanlah apa yang engkau suka. Demi Allah! Aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapa pun!” 

     Abu Thâlib lalu merangkai bait syair, 

     Demi Allah! 
     Mereka semua tidak akan dapat menjamahmu, hingga aku terkubur berbantalkan tanah. 
     Berterangteranganlah
     dengan urusanmu, 
     tiada cela bagimu 
     Bergembira dan bersukacitalah 
     dengan hal itu 


Kaum Quraisy Kembali Menemui Abu Thâlib 

     Kaum Quraisy melihat Rasulullah saw masih terus melakukan aktivitasnya. Mereka pun mengetahui bahwa Abü Thâlib akan terus melindungi kemenakannya itu. Sebagai upaya untuk membujuk, mereka membawa ‘Imârah bin al-Waild bin al Mughirah kepada Abu Thâlib.

     “Wahai Abi Thâlib! ini adalah seorang pemuda yang paling rupawan dan tampan di kalangan Quraisy. Ambillah dia, dan engkau dapat berbuat sesukamu terhadapnya, mengikatnya atau membelanya, engkau bisa menjadikannya anakmu. Namun, serahkan keponakanmu yang telah menentang agamamu, agama nenek moyangmu, dan memecah belah kaummu, kepada kami untuk kami bunuh. ini adalah barter yang adil di antara kita, satu orang untuk satu orang.” 

     Dengan tegas Abu Thâlib menolaknya. 
     “Demi Allah! Tawaran kalian itu adalah sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan untuk kepentingan kalian, sementara aku memberikan anakku untuk kalian bunuh? Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi.” 

     “Demi Allah! Wahai Abü Thâlib! Kaummu telah berlaku adil terhadapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa yang membuatmu tidak mau menerima sesuatu pun dari tawaran mereka?” kata al-Muth’ im bin ‘Adi bin Naufal bin ‘Abdu Manâf. 

   “Demi Allah! Kalian tidak berbuat adil terhadapku. Namun, kalian telah bersepakat menghinakanku dan memengaruhi kaum Quraisy untuk memusuhiku. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan!” jawab Abu Thâlib. (Ibnu Hisyam). 


Penganiayaan pada Rasuluflah saw 

     Di Makkah, Rasulullah saw hanya ditemani sebagian kaum Muslim yang tidak ikut ke Habasyah. Mereka adalah golongan terpandang sehingga mendapat perlindungan. Meski demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman dan menjauh dari pandangan orang-orang musyrik. Sedangkan, Rasulullah saw sendiri tetap melakukan shalat di depan mata orang-orang musyrik meski jiwanya terancam. 

     Suatu saat, ‘Utbah bin Abu Lahab mendatangi Rasulullah saw Di hadapan Nabi saw,’Utbah berbicara dengan lantang. 

     Aku mengingkari firman Allah. Demi bintang ketika terbenam. (QS. an-Najm [53]: 1). 

     Tak puas hanya dengan berbicara, ‘Utbah langsung menghampiri Nabi saw untuk merobek baju dan meludahi wajahnya. Nabi saw tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya 


KETIKA JIWA RASULULLAH SAW DIUJUNGTANDUK
Suasana mencekam terjadi di Hijr Ismail, Ka’bah. Jiwa nabi Muhammad saw dalam bahaya. Kaum Quraisy yang sedang berkumpul di sana mengepung Nabi saw. Mereka bergerak mengelilingi Rasul sambil berteriak-teriak keras. Tiba-tiba salah satu di antara mereka bergerak maju mendekati Muhammad saw. Tangannya langsung memegang pakaian Nabi saw dan melilitkannya ke leher Rasul, serta menariknya dengan kencang. Nabi saw tercekik. Jiwa manusia agung itu di ujung tanduk. Kaum Quraisy semakin bersemangat melihat Nabi saw tak berdaya. Di saat kritis itulah Abu Bakar datang. Ia berlari kencang menghampiri Rasulullah saw. Abu Bakar segera melepaskan pakaian yang melilit leher Rasulullah saw.
Abü Bakar tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menangis melihat kondisi Nabi saw. Apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan, ‘Rabb ku adalah Allah’? (QS. Ghâfir [401: 28). Abu Bakar mengatakan itu kepada kaum Quraisy yang masih berkerumun. lbnu ‘Amr berkata, “Sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau.” (lbnu Hisyâm). 

terdesak. Nyawanya terancam. Di saat-saat genting itulah, pertolongan Allah datang. Nabi Muhammad saw selamat. Setelah lolos dari maut, beliau berdoa: 

     “Ya Allah! Kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaan-Mu) untuk menerkamnya.” 

     Doa Nabi Akhir Zaman itu dikabulkan Allah. Suatu hari, ‘Utbah pergi bersama beberapa orang Quraisy ke suatu tempat dan singgah di az-Zarqa’, Syâm. Hari beranjak malam. Gulita memayungi ‘Utbah dan rekan-rekannya. Di sekeliling rombongan itu banyak anjing yang berkeliaran. ‘Utbah panik. 

     “Wahai saudaraku! Sungguh celaka! inilah, demi Allah, pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku padahal sedang berada di Makkah, sedangkan aku di Syâm,” teriak ‘Utbah kepada rekan-rekannya dengan penuh ketakutan, 

     Anjing-anjing itu terus mengelilingi ‘Utbah. Sejenak kemudian, mereka mendekati ‘Utbah yang sedang dicekam ketakutan luar biasa. Secepat kilat, anjing-anjing itu melompat ke arah ‘Utbah. ‘Utbah gelagapan dan tidak kuasa menghindar. Kepalanya dicengkeram kuat oleh anjing-anjing itu.

    Tidak lama, ‘Utbah pun mati. (al-Isti’ab wa al-Ishabab, wa Daldil an Nubuwwah, serta Mukhtashar Sirah, Syaikh ‘Abdullah). 

     Nabi saw juga pernah dianiaya ‘Uqbah bin Abu Mu’ith. Saat Rasulullah saw sedang khusyuk shalat, tiba-tiba datang ‘Uqbah dengan wajah penuh dendam. Kakinya segera diangkat dan langsung diarahkan ke pundak Nabi saw yang sedang sujud. Cucu ‘Abdul Muthallib itu kaget, tidak menduga akan mendapat serangan keji seperti itu. Rasa sakit beliau rasakan akibat injakan yang dilakukan ‘Uqbah. (Mukhtashar). 


Hamzah Masuk Islam 

      Kezaliman kaum Quraisy tidak berhenti. Akan tetapi, karena kezaliman itu, paman Nabi saw, Hamzah bin ‘Abdul Muthallib, masuk Islam di akhir tahun ke-6 masa kenabian.

     Kisahnya bermula di Bukit Shafâ saat Abu Jahal sedang menyiksa Nabi saw. Ia memukul Rasul secara bertubi-tubi. Wajah Nabi saw memar. Melihat orang yang sangat dibencinya luka, Abu Jahal pergi mcnuju Ka’bah menemui kaumnya. 

     Seorang budak wanita ‘Abdullah bin Jud’an melihat kekejaman Abu Jahal. Ia mencari orang untuk membenitahu peristiwa tersebut dan berternu Hamzah yang pulang berburu. Darah muda Hamzah bergolak mendengar cerita budak itu. Harga dininya terinjak-injak karena Abü Jahal telah menghina keturunan Bani Hâsyim. Hamzah marah besar dan bergegas pergi mencari Abu Jahal. Setibanya di Masjid al-Harâm, ia langsung berdiri persis di depan Abu Jahal. 

     “Engkau berani mencaci maki kemenakanku, padahal aku telah memeluk agamanya?” bentak Hamzah sambil memukul Abu Jahal dengan gagang busur panah. 

     Sebagian orang dari Bani Makhzñm, suku Abü Jahal, tenpancing emosi mereka. Begitu juga orang-orang dari Bani Hâsyim dan suku Hamzah. Abu Jahal melerai dan berkata, “Biarkan Abu ‘Imârah (julukan Hamzah)! Sebab aku memang telah mencaci maki kemenakannya dengan cacian yang amat jelek.” (Ibnu Hisyâm). 

     Hamzah lalu menemui Rasulullah saw dan menceritakan tentang ucapannya bahwa ia telah memeluk Islam. “Aku tidak mungkin mencabut ucapanku,” kata Hamzah. Lalu Rasulullah saw menawarkan Islam dan Hamzah menerimanya.