Monday, October 19, 2015

Boikot Terhadap Kaum Muslimin

     
Perkampungan Abu Thalib
Perkampungan Abu Thalib
   
Berbagai cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menahan gerak dakwah Rasulullah saw bagai membentur tembok besar: Selalu gagal. Alih-alih berhasil, mereka justru mendapat ancaman dari pendukung Nabi saw, di antaranya Abu Thâlib. Hal ini membuat Quraisy bertambah marah dan mereka pun mengumumkan peperangan.

     Suatu pertemuan digelar di kediaman Bani Kinânah, di lembah al-Mahshib. Hampir seluruh pembesar Quraisy hadir. Agenda pertemuan adalah rencana pemboikotan terhadap Nabi saw dan para pengikutnya. Mereka sepakat untuk mengembargo umat Islam secara ekonomi dan sosial.

     Dalam urusan ekonomi, kaum Quraisy tidak akan berjual-beli dengan kaum Muslim. Secara sosial, Quraisy tidak akan menikahi Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib, tidak berkumpul dan tidak berbaur, serta tidak berbicara dengan kaum Muslim. 

     Pernyataan embargo itu mereka dokumentasikan di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah yang digantungkan di dinding Ka’bah. 

Berikut isinya: 
     “Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hâsyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali bila mereka rnenyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh.” 

Tiga Tahun di Perkampungan Abu Thâlib 
     Selama embargo yang berlangsung tiga tahun itu, kegiatan dakwah cukup terganggu. Meski demikian, hal itu menambah keteguhan hati umat Islam dalam memegang risalah. Mereka terus berjuang menyebarkan Islam kepada seluruh manusia. 

      Pemboikotan membuat kaum Muslim menderita luar biasa. Selama masa itu, Rasulullah saw dan Khadijah berusaha keras melindungi kaum Muslim. Seluruh harta benda Khadijah habis digunakan untuk membantu kaum Muslim yang kelaparan. Sementara itu, Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib tetap membela Rasulullah saw. 

     Di masa itu pula, kaum Muslim memutuskan untuk berkumpul di perkampungan Abu Thâlib pada bulan Muharram tahun ke-7 dari masa kenabian, agar dapat saling menolong. Selama ini kerabat Nabi saw dan kaum Muslim tinggal berpencar di negeri Makkah. Mereka tak berkumpul di satu tempat. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam menghadapi boikot kaum musyrik. 

     Pcmboikotan semakin diperketat sehingga persediaan makanan pun habis. Sementara kaum musyrik tidak membiarkan makanan apa pun masuk ke perkampungan Abü Thâlib. Situasi tersebut membuat kaum Muslim kian terjepit. 


Masa-masa Penuh Penderitaan 
     Kondisi kaum Muslim mengenaskan. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Mulut mereka berbusa dan anak-anak mereka merintih kelaparan.

    Sa’ad bin Abi Waqqâsh menuturkan penderitaan yang mereka alami. “Pada suatu malam, aku pergi kencing. Tiba-tiba aku mendengar suara gemercik air kencingku sepertinya banyak, sehingga aku gembira. Setelah selesai, aku baru sadar bahwa yang gemercik itu adalah suara kulit yang aku biarkan terpanggang di atas api supaya kering dan dapat aku makan. Ternyata kulit itu menjadi sangat kering, sehingga terpaksa aku memakannya dengan merendamnya dalam air terlebih dahulu.” 

     Makanan memang tidak ada yang sampai ke tangan kaum Muslim, kecuali secara sembunyi-sembunyi. Keluar rumah untuk membeli makanan pun mereka takut, kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Makkah. Akan tetapi, penduduk Makkah menaikkan harga barang-barang beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya. 

     Di tengah situasi yang kritis itu, ada sebagian orang kafir yang menyelundupkan makanan. Salah satunya ‘Umar al-Amiri yang meletakkan makanan di atas unta, lalu memukul unta itu sehingga makanan bisa sampai ke Bani Hâsyim. Namun, itu tak berlangsung lama karena kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal tersebut.

     Para pembesar Quraisy marah. Mereka lalu menginterogasi ‘Umar. 

     “Apakah engkau telah ikut agama Muhammad?” 

     “Tidak,” jawab ‘Umar. 

     “Mengapa engkau melakukan hal tersebut?” tanya Quraisy lagi. 

     “Untuk menyambung silaturahim,” jawab ‘Umar. 

     Mendengar jawaban itu, Quraisy menghardik, “Jangan sampai engkau mengulanginya lagi.” 

    Setelah tiga hari berlalu, ‘Umar mengulangi perbuatannya dan Quraisy memergokinya lagi. Kemudian ‘Umar dituntut untuk bersumpah agar tidak melakukannya lagi. Namun, ‘Umar kembali melakukan hal yang sama. Akhirnya Quraisy mcmukulinya. Akan tetapi, ‘Umar tetap mengulangi perbuatannya. Quraisy lalu memukulinya. Beruntung Abü Sufyân datang. Ia memerintahkan kaum Quraisy untuk membebaskan ‘Umar. 

     “Biarkanlah laki-laki yang ingin menyambung silaturahim. Janganlah kalian merusak seluruh akhlak baik kita.”

     Di lain kesempatan, Hakim bin Hizâm pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadijah. Suatu saat, perbuatannya diketahui Abu Jahal. Hakim dihadang dan diinterogasi oleh Abñ Jahal. Untung saja, ada Abü al-Bukhturi yang menengahi dan membiarkannya lolos membawa gandum tersebut. 

Ilustrasi Unta yang membawa makanan yang biasa dilakukan pada zaman Rasulullah


     Di lain pihak, Abu Thâlib merasa khawatir atas keselamatan kemenakannya itu. Ia lalu memerintahkan Nabi saw untuk berbaring di tempat tidurnya agar memudahkan Abu Thâlib mengetahui jika ada yang hendak membunuh Muhammad. Dan ketika orang-orang telah benar-benar tertidur, Ia memerintahkan salah satu dari putra-putra, saudara-saudara, atau kemenakan-kemenakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah saw. Sementara, Rasulullah saw diperintahkan untuk tidur di pembaringan mereka.

     Saat embargo itu, Rasulullah saw dan kaum Muslim diperbolehkan menunaikan ibadah haji. Ini dilakukan agar boikot yang dilakukan Quraisy tidak diketahui oleh suku-suku yang lain.

Rayap Membatalkan Piagam Boikot
     Kondisi kaum Muslim kian memprihatinkan. Embargo telah berlangsung sekitar tiga tahun. Namun, mereka tetap tegar. Tidak satu pun yang tergoda dengan bujuk rayu kaum Quraisy.

     Sebaliknya, keteguhan kaum Muslim membuat kaum Quraisy hilang kesabaran. Perpecahan mulai terjadi di antara mereka. Sebagian kaum Quraisy berusaha membatalkan piagam pemboikotan yang di antaranya dilakukan oleh Hisyâm bin ‘Amru dari Bani Amir bin Luai.

     Suatu malam, Hisyâm secara diam-diam melakukan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan. Ia menemui Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumi (ibunya bernama ‘Atikah binti ‘Abdul Muthallib).

     “Wahai Zuhair, apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum, sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?” tanya Hisyâm.

     “Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri? Sungguh, demi Allah andaikata ada seorang lagi bersamaku, niscaya aku robek lembaran piagam tersebut,” jawab Zuhair.

     “Engkau sudah mendapatkannya!” kata Hisyâm.

     “Siapa dia?” Zuhair bertanya penuh kei ngintahuan.

      “Aku,” jawab Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan untuk kita orang ketiga!” usul Zuhair.

     Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin ‘Adl. Saat keduanya bertemu, Hisyâm menyinggung silaturahim antara Bani Hâsyim dan Bani al-Muthallib, dua orang putra ‘Abdu Manâf dan mencela persetujuannya atas tindakan zalim kaum Quraisy. Mendengar penjelasan Hisyâm, al Muth’im langsung bereaksi.

     “Celakalah engkau! Apa yang dapat aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?” kata al-Muth’im.

     “Engkau sudah mendapatkan orang kedua.”

     “Siapa dia?”

     “Aku,” jawab Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan orang ketiga!” pinta al-Muth’im.

     “Sudah aku dapatkan orangnya,” jawab Hisyâm.

     “Siapa dia?” tanya al-Muth’im.

     “Zuhair bin Abi Umayyah,” kata Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan orang keempat!” mohon al-Muth’im lagi.

     Lalu Hisyâm pergi menemui Abu al Bukhturi bin Hisyâm. Setelah bertemu, Hisyâm berbicara persis dengan apa yang telah dikatakannya kepada al-Muth’im.

     “Apakah ada orang yang membantu kita dalam hal ini?” tanya al-Bukhturi.

     “Ya, ada,” jawab Hisyam.

     “Siapa dia?” tanya al-Bukhturi.

     “Zuhair bin Abi Umayyah dan al Muth’im bin Adi. Aku juga akan bersamamu,” jelas Hisyâm.

     “Kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima!” mohon al-Bukhturi.

     Kemudian Hisyâm menemui Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muthallib bin Asad. Dia berbincang dengan Zam’ah tentang kekerabatan yang ada di antara mereka dan hak-hak mereka.

     Zam’ah bertanya kepadanya, “Apakah ada orang yang mendukung rencanamu ini?”

     “Ya” jawab Hisyâm.

     Lalu Hisyâm menyebutkan nama-nama orang yang ikut serta. Setelah terkumpul lima orang, mereka bertemu pada malam hari di pintu Hujün. Mereka berjanji akan melakukan pembatalan terhadap isi piagam pemboikotan.

     “Akulah orang pertama yang akan berbicara,” ujar Zuhair penuh semangat. Rencana pun disusun dengan rapi.

     Di pagi hari, mereka pergi ke tempat perkumpulan kaum Quraisy. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Setelah itu, ia membalikkan badan dan menghadapkan wajahnya ke kerumunan kaum Quraisy.

     “Wahai penduduk Makkah! Apakah kamu tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian, sementara Bani Hâsyim binasa. Tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka?” Zuhair membuka pembicaraan. Orang-orang Quraisy menyimak penuh perhatian.

     “Demi Allah, aku tidak akan duduk hingga lembaran piagam yang telah memutuskan silaturahim dan zalim ini dirobek!” kata Zuhair sambil mengarahkan tangannya untuk mengambil lembaran piagam yang tergantung di Ka’bah.

     Abu Jahal yang berada di pojok masjid terkejut dengan keberanian Zuhair. Ia langsung bangkit dari duduknya dan bergegas mendekati Zuhair.

     “Demi Allah! Engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!” teriak Abü Jahal panik.

     Namun, Zam’ah bin al-Aswad segera membalas ocehan Abu Jahal.

     “Demi Allah! Justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya waktu itu.”

     “Benar apa yang dikatakan Zam’ah. Kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya,” al-Bukhturi menambahkan.

     Al-Muth’im tak mau ketinggalan. “Mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari piagam tersebut dan apa yang ditulis di dalamnya,” tegas al-Muth’im. Sementara itu, Hisyâm bin ‘Amru menjadi orang terakhir yang semakin memperjelas ketidaksetujuan mereka terhadap piagam pemboikotan tersebut.Abu Jahal berang melihat hal itu.

     “Urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu,” kata Abu Jahal dengan sorot mata tajam.

     Saat ketegangan memuncak, datanglah Abü Thâlib. Paman Nabi saw itu sengaja pergi ke Masjid al-Harâm karena ia telah diberitahu oleh Rasulullah saw tentang piagam yang telah robek dimakan oleh rayap.

     “Paman, lembaran piagam itu telah rnusnah karena Allah telah mengirimkan rayap-rayap untuk memakannya, kecuali tulisan yang ada nama Allah,” ujar Rasulullah saw kepada Abu Thâlib.

     Abu Thâlib memberitahukan hal tersebut kepada kaum Quraisy.

     “Wahai Quraisy, kemenakanku mengatakan piagam itu telah dimakan rayap. Mari kita buktikan kebenaran Muhammad. Jika memang kemenakanku berbohong, kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya. Jika dia benar, kalian harus membatalkan embargo,” ujar Abu Thâlib.


MUKJIZAT RASULUflAH SAW
KEMAMPUAN MELIHAT MASA DEPAN
Memiliki kemampuan memberikan informasi tentang kisah para nabi serta kejadian yang akan terjadi pada masa beliau hidup dan masa depan. Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sungguh, kesudahan (yang baik) adalah bagi yang bertakwa. (QS. Hud (11): 49) dan (QS. ar-Rum (30): 1—4) 

      “Jika itu yang engkau inginkan, kami setuju. Kalau begitu, engkau telah berlaku adil,” kata orang-orang Quraisy.

     Sorot mata orang-orang Quraisy kini tertuju pada piagam yang masih tergantung di Ka’bah. Demikian pula Abu Thalib, Hisyâm, dan rekan-rekan mereka.

     Al-Muth’im lalu bergegas menuju lembaran piagam untuk merobeknya. Setelah jaraknya begitu dekat dengan piagam itu, mimik muka al-Muth’im berubah. Ia terkejut bercampur gembira karena melihat rayap-rayap telah memakan piagam kecuali tulisan “bismikallah” (dengan nama-Mu, ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya.

     Piagam itu akhirnya tak berlaku lagi. Nabi saw bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thâlib pun dapat leluasa keluar. Namun, kaum Quraisy tetap pada pendiriannya. Mereka tak mau mengakui kebenaran Nabi saw meski telah melihat tanda-tanda kenabian beliau.

     Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat sesuatu tanda (mujizat,), mereka berpaling dan berkata, “(ini adalah) sihir yang terus-menerus. “(QS. al-Qamar [54]: 2)

     Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran-kekekufuran yang lain lagi. (HR. Bukhari).

Utusan Terakhir Quraisy Menemui Abu Thâlib 
     Setelah pembatalan embargo, Rasulullah saw mulai leluasa melakukan aktivitas seperti biasa. Namun, bukan berarti kaum Quraisy tinggal diam. Mereka tetap gigih melakukan tekanan terhadap kaum Muslim.

     Di lain sisi, Abu Thâlib masih tegar memberikan perlindungan kepada kemenakannya tercinta. Namun, kini usianya bertambah tua, melebihi 80 tahun. Penderitaan dan peristiwa-penistiwa besar yang datang silih berganti membuat kondisi fisiknya melemah. Tubuhnya semakin rapuh setelah terjadi pengepungan dan pemboikotan terhadap perkampungannya. Persendiannya lemah dan tulang rusuknya patah. Abu Thâlib jatuh sakit.

     Kabar ini cepat tersiar di penjuru Makkah. Kaum Quraisy gembira mendengarnya. Pelindung utama Muhammad saw di ambang kematian, pikir mereka. Itu berarti mereka akan lebih leluasa menyiksa Nabi saw.

     Namun, sebelum ajal menjemput Abü Thâlib, mereka harus menjenguknya. Mereka tidak mau nama besar Quraisy cacat karena hanya datang ke kediaman Abü Thâlib saat kematiannya. Karena itu, mereka sekali lagi mengadakan perundingan dengan Abu Thalib. Para pemuka Quraisy yang hadir, antara lain, adalah ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyâm, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan itu dilakukan di hadapan para tokoh yang berjumlah sekitar 25 orang.

     “Wahai Abu Thâlib, sesungguhnya engkau, seperti yang engkau ketahui, adalah bagian dari kami dan saat ini, sebagaimana yang engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami cemas terhadap dirimu padahal engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami dan kemenakanmu,” ujar salah satu dari kaum Quraisy mengawali pembicaraan.

     Mereka lalu meminta Abü Thâlib membujuk kemenakannya untuk menenima tawaran yang mereka ajukan.

     “Kami akan menerima yang Muhammad minta. Namun, kemenakanmu juga harus menerima apa yang kami mau,” bujuk mereka. “Kami tidak ingin mencampuri urusan Muhammad, demikian juga dengan kemenakanmu. Desaklah dia agar membiarkan kami menjalankan agama kami seperti halnya kami juga akan membiarkannya menjalankan agamanya,” pinta kaum musyrik Quraisy.

     Abu Thâlib lalu mengirimkan utusan untuk meminta Rasulullah saw datang. Nabi saw tiba di kediaman pamannya. “Wahai kemenakanku! Mereka itu adalah pemuka-pemuka kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil sesuatu pula darimu.”

     Lalu Abu Thâlib memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang telah ditawarkan oleh orang-orang Quraisy kepadanya.

     Rasulullah saw terdiam sejenak. Setelah itu, beliau mulai berbicara.

     “Bagaimana pendapat kalian bila aku katakan kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan, niscaya kalian akan dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada kalian?”

     Ketika mendengar ini, mereka tercengang dan bingung. Mereka tidak tahu bagaimana caranya menolak satu kalimat itu.

     Abü Jahal yang penasaran langsung berujar, “Apa itu? Sungguh aku akan memberikanmu sepuluh kali lipatnya.”


RASULULIAH SAW MENDOAKAN ANAK—ANAK
     Ada seorang anak non-Muslim bernama Abu Mahdzurah, si pemilik suara merdu. Ketika dia mengejek azan, Rasulullah saw tidak memarahinya. Bahkan, beliau mengusap kepalanya seraya berdoa, “Ya Allah, berilah keberkahan terhadapnya dan tunjukilah dia pada Islam.” Beliau mengucapkan itu dua kali. Selanjutnya, beliau menyuruh dia mengucapkan, “Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”, sampai akhirnya Abu Mahdzurah azan di Makkah, Subhanallâh!                 Diriwayatkan dalam shahib Bukhâri dan Anas bin Malik, “Ada seorang anak Yahudi yang menjadi pelayan Nabi, sedang menderita sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya seraya berkata kepadanya, “Berislamlah.” Anak tadi menoleh kepada ayahnya yang berada di sampingnya. Ayahnya berkata, “Ikuti Abu al-Qäsim.” Kemudian, bocah tadi masuk Islam. Lalu Rasulullah saw keluar seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia danrineraka.” 

     “Kalian katakan, ‘La Ilaha illallâh’ dan kalian ringgalkan sesembahan selain-Nya!” tegas Rasulullah saw.

      Orang-orang Quraisy tidak menyetujui permintaan Nabi saw. Mereka justru bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.

     “Wahai Muhammad! Apakah kamu hendak membuat tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini.”

     Di antara mereka kemudian saling berbicara. Suasana menjadi gaduh.

     “Demi Allah! Sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang kita inginkan. Pergi dan teruslah dalam agama nenek moyang kita hingga Allah memutuskan antara kita dan dirinya,” kata salah seorang Quraisy kepada rekan-rekannya. Peristiwa tersebut membuat Allah menurunkan firman-Nya berikut.

     Shad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. Dan rnereka heran karena mereka kedatangan seorang pembeni peringatan (rasul) dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir berkata, “ini adalab seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini (meng-Esakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan. (QS. Shad [38]: 1-7) (Ibnu Hisyâm).

Hikmah Boikot terhadap Kaum Muslim
     Peristiwa embargo ekonomi dan pengucilan kerabat-kerabat Nabi saw yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy waktu musim Haji menarik perhatian seluruh kabilah di Jazirah ‘Arab. Beliau dan kaum Muslim melanjutkan misi dakwahnya ke berbagai kabilah dalam kondisi haus dan lapar.
       Peristiwa embargo ekonomi justru membuka mata hati kabilah-kabilah ‘Arab untuk mengakui kebenaran. Mereka berpandangan,jika dakwah Nabi saw salah, mana mungkin beliau dan para sahabatnya mau menanggung risiko yang amat berat itu.
     Aksi pemboikotan terhadap nabi Muhammad saw, Bani Hâsyim, dan Bani Muthallib, membuat kabilah-kabilah ‘Arab membenci kaum Quraisy. Betapa dahsyatnya aksi pemboikotan itu, sehingga membuat banyak kabilah simpatik terhadap Islam dan gaung Islam pun semakin menyebar ke seluruh tanah ‘Arab. Pengepungan, pemboikotan, dan pengekangan adalah aksi yang melanggar hak-hak asasi manusia. Di abad modern ini, kehidupan seorang Muslim dan kebebasan beragama yang tumbuh di negara mana pun dijamin oleh penguasa. Banyak juga undang-undang yang intinya membebáskan umat beragama menjalankan ibadahnya.
     Setiap bangsa di mana pun dan kapan pun yang ingin menerapkan syariah Ilahi pasti akan berhadapan dengan berbagai kemungkinan. Ditekan, dikucilkan, dan diboikot oleh orang-orang yang sesat. Dalam kondisi demikian, para pemimpin Islam hendaknya mempersiapkan diri dan pengikutnya untuk menemukan solusi yang tepat. Hendaknya mereka juga memikirkan, reaksi apakah yang efektif untuk melawan aksi pemboikotan agar umat Islam mampu mempertahankan kebenarannya.