Monday, October 19, 2015

Quraisy Menemui Rasulullah Saw

     
Quraisy Membujuk Rasulullah

Kaum musyrik kesusahan dengan masuk Islamnya dua tokoh besar: Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin Khaththâb. Mereka takut Islam kian menybar luas di Jazirah Arab. Namun, karena rasa benci yang begitu hebat pada Rasulullah saw, mereka tiada putus asa. Jalan lain ditempuh untuk menghalangi tersebarnya ajaran Islam. Kali ini, mereka melakukan jalur diplomasi dengan menawarkan pemenuhan semua tuntutan yang diinginkan Nabi saw.

     Di suatu hari, ‘Utbah bin Rabi’ah, Seorang kepala suku, berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah saw sedang duduk-duduk seorang diri dalam di masjid. 

     “Wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kalian bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya, kemudian aku menawarkan beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima. Setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?” 

     “Itu bagus, wahai ‘Utbah! Pergilah dan berbicaralah padanya!” ujar mereka. 

     ‘Utbah segera mcnemui Rasulullah saw dan duduk di sampingnya. 

     “Wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga membuat mereka bercerai-berai. Angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela, dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah, aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu. Kami ingin tahu bagaimana pendapatmu. Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima.” 

    “Wahai Utbah, katakanlah aku akan mendengarkannya!” jawab Rasulullah saw. 

     “Wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu agar engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami,” bujuk ‘Utbah. 

     “Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, kami akan mengangkatmu menjadi pemimpin kami hingga kami tak akan melakukan sesuatu apa pun sebelum engkau perintahkan,” ‘Utbah terus merayu Nabi saw. 

     “Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, kami akan mengangkatmu menjadi raja. Dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu, serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena jin sehingga perlu diobati,” kembali ‘Utbah menggoda Rasulullah saw dengan imbalan yang menggiurkan. 

     ‘Utbah berkata hingga usai dan Rasulullah saw mendengarkannya. 

     “Wahai ‘Utbah, telah selesaikah engkau?” tanya Muhammad saw. 

     “Ya,” jawab ‘Utbah. 

     “Sekarang dengarkanlah aku!” kata Rasulullah saw. 

     “Ya, akan aku dengar,” ‘Utbah menjawab. 

     Lalu Rasulullah saw membacakan surah Fushshilat

     Ha mim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang djelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami padanya. (QS. Fushshilat [41]: 1—5). 

     Rasulullah saw melanjutkan bacaannya. Ketika ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyuk mendengarkan sambil bertumpu di atas kedua tangannya yang diletakkan di belakang punggungnya hingga Rasulullah saw menyelesaikan bacaannya. Ketika Nabi saw membaca ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, 

     “Wahai ‘Utbah! Engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu.” 

     ‘Utbah diam dan segera bangkit menemui para sahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Kami bersumpah atas nama Allah! Sungguh Abu al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan waktu dia pergi.” ‘Utbah pun duduk bersama mereka. 

     “Apa yang engkau bawa, wahai Abü al Walid?” tanya mereka. 

     “Yang aku bawa sebuah kabar. Aku mendengar perkataan yang belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya,” kata ‘Utbah. 

     “Demi Allah, itu bukanlah syair, bukan sihir, dan bukan pula tenung! Wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku, serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya!” kata ‘Utbah kepada kaumnya. 

     “Demi Allah! Sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar. Jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya, kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain, dan jika dia mengalahkan mereka, kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga. Dan kalian akan menjadi orang yang paling bahagia,” ‘Utbah menasihati kaumnya.

     Tentu saja kaum Quraisy heran dengan apa yang terjadi kepada ‘Utbah. Bukannya terpengaruh oleh perkataan ‘Utbah, mereka justru menuduh ‘Utbah telah dipengaruhi Rasulullah saw. 

     “Demi Allah! Dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai ‘Utbah.” 

     “Inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan!” tegas ‘Utbah. (Ibnu Hisyâm dan sebagiannya bisa didapatkan pada al-Mu'jam ash-Shagir, ath Thabrâni


Abu Thâlib Mengancam Quraisy 
     Kebencian kepada nabi Muhammad saw yang telah menebal membuat kaum Quraisy terus mencari cara untuk menghambat dakwah Islam. Setelah berbagai cara menemui jalan buntu, akhirnya mereka sepakat untuk menempuh cara pamungkas. Apa itu? Mereka akan menemui Abu Thâlib dan memintanya menyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh. 

    Permintaan tersebut tentu saja membuat Abu Thalib terkejut. Tuntutan itu tak dapat dianggap remeh. Ia pun segera mengambil tindakan cepat dengan mengurnpulkan para pemuda dan sukunya. Mereka diperintahkan mcmbawa besi dan duduk di belakang setiap pembesar Quraisy yang sedang berkumpul. 

     Abu Thâlib lalu berseru, “Wahai orang-orang Quraisy, apakah kalian tahu apa yang aku rencanakan?” 

     “Tidak,” jawab mereka serempak. 

     Abü Thâlib segera memanggil para pemuda dan meminta mereka untuk mengeluarkan besi yang dibawa mereka. 

     “Demi Allah! Andaikan Muhammad sampai terbunuh, kami akan membunuh kalian semua,” teriak Abu Thalib di hadapan para pemuda tersebut. 

     Mendengar pernyataan itu, orang-orang Quraisy terdiam dan nyali mereka pun menciut. Mereka tak jadi menjalankan rencana untuk membunuh Rasulullah saw. Abu Thâlib berhasil membuat takut orang-orang Quraisy karena strateginya. Ia mengumpulkan setiap kabilah untuk melindungi Rasulullah saw yang merupakan kemenakannya. Sebagian kabilah, baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam, sepakat untuk melindungi Rasulullah saw. (Ibnu Hisyam). 

     Tindakan Abu Thalib itu merupakan strategi jitu. Ia telah mencium gelagat buruk yang hendak dilakukan kaum Quraisy kepada kemenakannya. Mereka berusaha keras membunuh Rasulullah saw, dan salah satu caranya adalah dengan cara merusak perlindungan yang ia berikan kepada kemenakannya. Jika itu terjadi, tidak ada pihak yang dapat menghalangi mereka. 

     Karena itu, Abu Thalib merancang strategi agar rencana jahat kaum Quraisy itu dapat dihambatnya. Dan strategi itu adalah dengan mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim, Bani Al Muthallib, dan Bani Abdu Manâf untuk meminta kesediaan mereka melindungi saudara mereka, Rasulullah saw.

KASIH SAYANG NABI SAW KEPADA MUSUH
     Kekejaman musuh-musuh lsam tidak membuat Nabi saw dendam. Ia tetap menunjukkan kasih sayangnya. Suatu hari, Rasulullah saw sedang mendirikan shalat fajar bersama kaum Muslim di Hudaibiyah. Tiba-tiba datang 70-80 orang dari wilayah Tan’im hendak menyerang kaum Muslim.              Mereka lalu tertangkap dan Rasulullah saw membebaskan mereka tanpa tebusan.
      Rasulullah saw memberikan pengampunan kepada Ghawrats bin Hânits, meskipun orang ini telah mencoba membunuh Nabi saw. Ghawrats lalu kembali ke tengah-tengah kaumnya dengan berseru,           “Aku kembali mendatangi kalian dari tempat sebaik-baiknya manusia.”
     Suatu ketika, ada jenazah lewat di hadapan Rasulullah saw. Beliau segera berdiri menghormatinya. Para sahabat segera berseru, “Wahai Rasulullah, itu adalah jenazah seorang Yahudi!” Rasulullah saw malah menjawab, “Bukankah Ia juga manusia?” (HR. Muslim).
     Rasulullah saw melarang pembunuhan wanita, anak-anak, dan budak selama mereka tidak terlibat dalam penang.
     Bahkan, setiap kali Rasulullah saw mengirim utusan atau ekspedisi pasukan, beliau selalu berpesan, “Jangan berlebih-lebihan, jangan menipu, jangan main-main, dan jangan bunuh anak-anak!”