Rute perdagangan bangsa Arab |
Usia Muhammad terus bertambah. Ia kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah. Pamannya, Abu Thâlib, tak kenal henti memberikan kasih sayangnya. Selain dalam pengasuhan pamannya, Muhammad harus hidup penuh keprihatinan. Maklum, Abu Thâlib tidak memiliki harta berlebih seperti ‘Abdul Muthallib, kakek Muhammad. Ia pun kemudian berjuang mencari nafkah untuk membantu pamannya dan menghidupi dirinya sendiri.
Tidak ada pekerjaan tetap yang digeluti Muhammad. Beberapa riwayat mengisahkan beliau bekerja sebagai penggembala kambing. Aut Hurairah meriwayatkan suatu hari, Nabi saw berkata, “Tidaklah Allah swt mengutus seorang nabi, melainkan dia pernah menggembala domba.”
Para sahabat bertanya, “Engkau juga, wahai Rasulullah?”
“Benar,” jawab beliau.
“Dulu aku menggembala domba milik penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qirâth.”
Meski tidak punya pekerjaan tetap, Muhammad dikenal sebagai pemuda yang berakhlak mulia: jujur, amanah, santun, dan bersahaja. Setiap pekerjaan yang dilakoninya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kemuliaan akhlak Muhammad itu terdengar di telinga Khadijah binti Khuwailid. Ia adalah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia membayar banyak kaum lelaki untuk berdagang dengan sistem bagi hasil.
Khadijah pun mengutus seseorang untuk mengajak Muhammad berniaga ke negeri Syâm. Tawaran itu diterima Muhammad. Ia bergegas berangkat menemui Khadljah.
Muhammad tiba di rumah Khadijah. Muhammad mengucapkan salam dan meminta izin kepada Khadijah untuk masuk. Sebuah percakapan pun terjadi. Khadijah langsung berbicara ke inti pers oalan.
“Aku sedang butuh orang untuk menjual barang daganganku ke negeri Syâm. Aku butuh orang yang jujur, dapat dipercaya. Aku tahu, engkau orang yang jujur dan dapat diandalkan. Aku yakin engkau adalah orang yang tepat, karenanya aku tawarkan pekerjaan ini kepadamu,” kata Khadijah. Ia berjanji akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan saudagar lainnya.
Muhammad langsung menerima tawaran itu. Persiapan keberangkatan pun dilakukan. Khadijah meminta pelayan terbaiknya, Maisarah, sebagai asisten Muhammad. Tak lupa Khadijah memb isikkan sesuatu kepada Maisarah. “Kau jangan membangkang pada Muhammad.
Lakukan apa yang diinginkannya. Engkau juga harus mengamatinya sepanjang perjalanan. Ketika pulang, laporkan apa yang engkau lihat kepadaku,” bisik Khadijah.
Waktu kepergian tiba. Hampir seluruh sanak saudara Muhammad berkumpul untuk melepas keberangkatannya. Perjalanan itu akan panjang. Itu artinya mereka tak dapat berjumpa dengan Muhammad dalam waktu yang lama. Muhammad bersama Maisarah kemudian bertolak dalam sebuah kafilah menuju Syâm. Hari berganti hari. Siang silih berganti dengan malam mengiringi perjalanan. Maisarah melakukan apa pun agar Muhammad merasa nyaman.
Di Bawah Pohon
Tepat pada bulan ketiga, mereka tiba di Basra, tidak jauh dan Syâm. Sebuah perayaan besar sedang berlangsung. Barang dagangan digelar oleh para musafir di atas permadani. Muhammad melepas lelah di bawah pohon besar, tidak jauh dari kuil seorang rahib.
Tanpa sepengetahuan Muhammad, Nasthürâ, seorang pendeta, mengamati gerak-gerik Muhammad. Ia kemudian menghampiri Maisarah, “Siapa yang berteduh di bawah pohon itu?” tanya Nasthurâ.
“Orang Quraisy dan Makkah,” Maisarah menjawab.
“Tidak seorang pun berteduh di bawah pohon itu, melainkan dia seorang nabi,” kata Nasthurâ. Maisarah tercengang mendengarnya. Belum habis rasa terkejut Maisarah, Nasthurâ kembali mengulanginya. “Ia adalah Nabi Terakhir.” Pcrasaan Maisarah campur aduk: gembira, senang, terkejut, dan gelisah. Sebuah rahasia besar berada di genggamannya. Ia merasa beruntung dapat mendampingi seorang pemuda yang kelak akan menjadi nabi.
Perjalanan dilanjutkan. Muhammad dan kafilahnya tiba di Syâm. Beliau menjual barang dagangan yang dibawanya, dan membeli produk Syâm untuk dijual di Makkah. Setelah empat tahun di Syâm, kafilah dagang itu bergegas kembali ke Makkah.
Di siang hari, cuaca panas seperti memanggang rombongan. Kulit kepala mereka terasa terbakar. Kulit tubuh bercucuran keringat. Mereka tidak kuasa menahan panggangan matahari. Saat itulah Maisarah menyaksikan mukjizat.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad dan rombongan, ke mana pun mereka bergerak. Awan itu terus berarak meneduhi Muhammad sepanjang perjalanan, seolah diperintahkan untuk mengik utinya. Hanya Maisarah yang melihat keajaiban itu. Para musafirlIainnya tidak ada yang tahu. Pemandangan menakjubkan itu membuat Maisarah kian yakin dengan apa yang diucapkan pendeta Nasthurâ bahwa Muhammad adalah nabi terakhir.
Setibanya di Makkah, Muhammad langsung menuju kediaman Khadijah. Sesampainya di sana, ia menyetorkan modal dan keuntungan kepada Khadijah. Kemudian Muhammad menjual barang dagangan yang beliau beli di Syâm. Muhammad mendapatkan keuntungan lebih atas perniagaannya itu. Khadijah terlihat gembira dengan usaha Muhammad muda. Tidak sia-sia ia memberikan kepercayaan kepada Muhammad.
Muhammad segera kembali ke rumahnya. Saat itulah Maisarah menuturkan kepada Khadijah beragam peristiwa yang terjadi saat mendampingi Muhammad berdagang. Maisarah mengisahkan pertemuannya dengan seorang pendeta dan apa yang dikatakan sang pendeta tentang Muhammad. Dia menuturkan pula tentang awan yang menaungi Muhammad selama dalam perjalanan. Khadijah mendengarkannya dengan penuh perhatian seolah tak ingin melewatkan sedikit pun informasi ten- tang Muhammad.