Tuesday, October 20, 2015

Tahun Dukacita

Abu Thâlib Wafat 
     Sakit Abu Thâlib kian parah sejak utusan Quraisy mendatanginya. Tubuhnya makin lemah tak berdaya. Ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Malaikat maut datang menghampiri. Di saat itulah, Nabi saw mendampingi Abu Thalib. Namun Rasulullah saw tidak sendiri. Di sampingnya juga ada Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah. Muhammad saw menatap sedih pamannya tercinta. Orang yang selama ini setia dan tegar melindunginya, kini tidak berdaya. Terlintas di benak Nabi saw saar-saat Abu Thâlib berjuang melindunginya dari ancaman kaum Quraisy. Nabi saw tak ingin pamannya masih menjadi orang kafir saat maut datang menjemput. Karena itu, Rasulullah saw berusaha membimbing pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid. 

     “Wahai pamandaku! Katakanlah “La Ilaha Illallah”, kalimat ini akan aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah,” ujar Nabi saw. 

     Namun, Abu Jahal dan ‘Abdullâh bin Abi Umayyah segera memotong.

     “Wahai Abu Thâlib! Sudah bencikah engkau terhadap agama ‘Abdul Muthallib?” 

     Keduanya terus mendesak agar Abu Thalib tak mengucapkan kalimat tauhid. Usaha mereka tak sia-sia. Abü Thâlib, di akhir hayatnya, berkata, “Aku masih tetap dalam agama ‘Abdul Muthallib.” 

     Rasulullah saw sedih melihat kenyataan itu.

    “Aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya,” kata Muhammad saw di hadapan tubuh Abu Thâlib yang telah terbujur kaku. 

Makam paman Nabi saw, Abu Thalib yang banyak membantu dakwah Islam
Makam paman Nabi saw, Abu Thalib yang banyak membantu dakwah Islam

     Lalu turunlah ayat yang menjawab perkataan Rasulullah saw. 

     Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalab penghuni neraka Jahannam. (QS. at- Taubah [9]: 113)

     Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (QS. al-Qashash [28]: 56) (HR. Bukhâri). 

     Nabi saw tak dapat menolong pamannya. Namun, beliau sempat berujar, “Abu Thalib berada di neraka yang paling ringan, jika bukan karenaku (karena perlindungannya kepadaku), niscaya dia berada di neraka yang paling bawah.” (HR. Bukhâri). 

     “Semoga saja syafaatku bermanfaat baginya pada Hari Kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling ringan yang (ketinggian apinya) mencapai dua mata kaki (saja).” (HR Bukhâri). 

     Abu Thâlib wafat pada bulan Rajab tahun ke-10 Hijriah dari kenabian setelah enam bulan keluar dari perkampungannya. Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan. (Mukhtashar as Sirah, Syekh ‘Abdullâh). 


Khadijah Meninggal Dunia 
     Awan duka seolah enggan pergi meninggalkan langit Makkah. Hanya berselang tiga bulan dari wafatnya Abu Thâlib, Nabi saw kembali menerima kabar yang menghantam relung hati. Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra’ meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 Hijniah dari kenabian dalam usia 65 tahun (Ibnu Jauzi mengatakan wafatnya Khadijah pada bulan Ramadhan di tahun itu). 

     Menurut riwayat yang paling masyhur, Rasulullah saw ketika itu berusia 50 tahun. (at-Talqih). 
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi Rasulullah saw. Selama Khadijah hidup seperempat abad bersama beliau, dia senantiasa menghibur di saat Nabi saw cemas, memberikan dorongan di saat kritis, menyokong penyampaian risalah beliau, ikut serta mcnghadapi rintangan yang menghadang jihad, dan selalu membela, baik dengan jiwa maupun hartanya. 

     Rasulullah saw tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. “Dia telah beriman kepadaku saat manusia tidak ada yang beriman, dia membenarkanku di saat manusia mendustakan, dia membantuku dengan hartanya saat manusia menahannya, Allah mengaruniaiku anak darinya, sementara Allah Ta’ala tidak memberikan dari istri yang lainnya,” tutur Nabi saw mengenang istrinya tercinta (HR. Ahmad). 

     Untuk beberapa lama Rasulullah saw belum dapat menghilangkan rasa dukanya. Seorang sahabat menasihati Muhammad saw. 

     “Tenangkanlah dirimu, wahai Rasulullah!” 

     Pernah ada seorang sahabat wanita yang mengusulkan agar Nabi saw menikah lagi. Mendengar tawaran itu, Rasulullah saw langsung teringat Khadijah. 

     “Adakah seseorang yang lebih baik daripada Khadijah?” kata Nabi saw dengan sedih.

Makam Khadijah di Ma'la dahulu kala
Makam Khadijah di Ma'la dahulu kala


     Kecintaan Muhammad saw kepada mendiang istrinya begitu mendalam. Itu terlihat ketika Rasulullah saw menyembelih kambing, bagian pertama yang dikeluarkan dihadiahkan untuk para sahabat Khadijah. 

     “ini sebagai penghormatan atas jasa-jasa istriku tercinta,” kata Nabi saw. 

     Suatu ketika, Jibril mendatangi Rasulullah saw, yang menunjukkan terhormatnya posisi Khadijah di mata Allah. 

     Wahai Rasulullah. Inilah Khadijah, dia telah datang dengan membawa lauk-pauk, makanan, atau minuman. Bila dia nanti mendatangimu, sampaikan salam Tuhannya kepadanya serta beritakan kepadanya kabar gembira perihal rumah untuknya di surga yang tidak ada kebisingan dan juga menguras tenaga di dalamnya.” (HR. Bukhâri). 


Kaum Quraisy Semakin Keji 
     Dua peristiwa kematian dalam wakru berdekatan membuat jiwa Nabi saw terguncang. Kesedihan terus memayungi dirinya. Apalagi jika teringat kenangan indah bersama Abu Thâlib dan Khadijah. 

     Duka Rasulullah saw kian mendalam karena kekejian kaum Quraisy yang semakin tak terkendali. Sepeninggal Abü Thâlib, mereka bertambah leluasa menyiksa nabi Muhammad saw. Tiada hari dilewati Nabi saw tanpa disakiti kaum musyrik. 

     Suatu saat, seorang begundal Quraisy menghampiri beliau yang sedang berjalan sendirian menuju rumahnya. Setelah jarak antara keduanya semakin dekat, sang begundal langsung melemparkan debu ke wajah Rasulullah saw. Beliau terperanjat, tak menduga akan mendapat perlakuan seperti itu. Wajahnya penuh dengan debu kotor, sementara sang begundal tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. 

     “Ha. ..ha. . .ha. . .ha...,” Tawa itu terdengar keras mengejek Rasulullah saw. 

     Tawa penuh ejekan itu tak dihiraukan nabi Muhammad saw. Beliau tak membalas perlakuan keji itu. Rasulullah saw memilih pergi dengan mempercepat langkahnya menuju rumah. Begitu tiba, seorang anak perempuannya terkejut. Ia melihat wajah ayahnya dipenuhi debu. Muka ayahnya kotor tidak secerah biasanya. 

     Segera ia songsong ayahnya tercinta dan membersihkan debu yang melekat di muka ayahnya. Sang anak menangis melihat penderitaan yang dialami ayahnya. Namun, Nabi saw segera menghibur, tak ingin anaknya terus dirundung kesedihan. 

Makam Khadijah di Ma'la saat ini
Makam Khadijah di Ma'la saat ini

Makam Khadijah di Ma'la saat ini
Makam Khadijah di Ma'la saat ini

“Jangan menangis, duhai anakku! Sesungguhnya Allah yang akan menolong ayahandamu,” ujar Rasulullah saw lembut seraya mengelus kepala putrinya tercinta. 

MENIKAH DENGAN SAUDAH RA
Sepeninggal Khadijah, Nabi saw tak memiliki pendamping hidup. Padahal, dengan perjuangan berat
yang harus dilakukannya, kehadiran seorang istri begitu mendesak. Setelah kesedihan berhasil disingkirkannya, Rasul memutuskan untuk menikahi Saudah binti Zam’ah pada bulan Syawal tahun 10 kenabian.
Saudah termasuk wanita yang masuk Islam lebih dahulu, ikut serta dalam hijrah yang kedua ke Habasyah. Suaminya terdahulu bernama Sakrân bin ‘Amru yang juga masuk Islam dan berhijrah bersamanya, dan wafat di negeri Habasyah. Ada riwayat yang menyebutkan, dia wafat sepulangnya ke Makkah. Ketika dia sudah melewati masa ‘iddah, barulah Rasulullah saw melamar dan menikahinya. (Talqih Fuhim Ahlu al-Atsar). 
     Di tahun itu, kesedihan dan siksaan datang beruntun, tak kenal henti. Inilah salah satu tahun terberat yang harus dijalani Rasulullah saw dan kaum Muslim selama di Makkah. Wafatnya Abu Thalib betul-betul dimanfaatkan kaum Quraisy untuk meneror Nabi saw dan kaum Muslim. 

     “Tidak pernah aku mendapatkan suatu perlakuan yang tidak aku sukai dari Quraisy hingga Abu Thâlib wafat,” kata Nabi saw (Ibnu Hisyâm). 

Masa itu, lengkap sudah penderitaan yang dialami Rasulullah saw. Masa-masa penuh ujian tersebut dikenal dengan “Tahun Dukacita” (Amul Huzni dalam buku-buku Sirah dan Tarikh). 

RASULULIAH SAW SEBAGAI SUAMI
‘Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara kesempurnaan iman orang-orang Mukmin ialah mereka yang paling bagus akhlaknya dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya.” (HR Tirmidzi).
Suatu hari, Rasulullah saw mengajak istrinya, Ummu Sulaim, dalam suatu perjalanan. Tiba-tiba, saat sedang berjalan, seorang budak hitam bernama Anjasyah menghalau unta dengan keras. Melihat itu, Nabi saw segera bereaksi. “Wahai Anjasyah, berhati-hatilah. Bersikap lembutlah terhadap kaum wanita.” (HR. Muslim). 

Peta google menunjukkan letak makam Khadijah, Ma'la dan Masjidil al Haram yang berjarak sekitar 1,59 km
Peta google menunjukkan letak makam Khadijah, Ma'la dan Masjidil al Haram yang berjarak sekitar 1,59 km

Hikmah Tahun Dukacita Khadijah adalah wanita ideal bagi Rasulullah saw. Ia istri salehah yang percaya akan kebenaran misi dakwah dan mendukung penuh perjuangan suaminya. Ia menjadi penyemangat bagi kesuksesan dan kemenangan dakwah.
Nabi saw mengalami duka yang mendalam karena kehilangan dua orang yang dicintainya: Abu Thâlib dan Khadijah. Saat Abu Thâlib meninggal, Rasulullah saw berkata, “Semoga Allah menyayangi dan mengampunimu, tak henti-hentinya aku memohon ampunan untukmu, sampai Allah melarang aku.” Orang-orang Muslim pada mulanya mengikuti Rasulullah saw, mereka memintakan ampunan untuk orang-orang kafir yang telah meninggal. Lalu Allah berfirman, “Tidak pantas bagi Nabi saw dan orang-orang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) atas orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kerabatnya, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahannam.”
Rasulullah saw sering mengenang keistimewaan Khadijah, memintakan rahmat untuknya, dan berbuat baik kepada teman-temannya. ‘Aisyah jadi cemburu, karena beliau sering memuji Khadijah walau Khadijah telah wafat.