Wanita
Pada masa lalu, hak kaum wanita di ‘Arab tidak diakui. Mereka tertindas, dikebiri oleh hukum adat yang buruk. Ketika seorang bayi perempuan lahir, wajah sang ayah murung, dilanda kesedihan yang sangat mendalam. Mengapa? Karena sang ayah harus mengubur hidup-hidup bayi tersebut. Sang ayah harus membunuh anaknya dengan cara membenamkan wajah bayi perempuannya itu ke dalam gundukan tanah.
Dalam hal pernikahan, kaum wanita juga dizalirni. Ketika seorang wanita dinikahkan oleh walinya, dia tidak memilikj hak untuk memberikan alasan, atau penolakan. Sang suami dapat saja menceraikannya kapan pun, kemudian merujuknya, lalu menalaknya lagi, kemudian merujuknya, dan terus begitu sampai waktu yang tidak ditentukan. Dia tidak mempunyai kekuatan apa pun kecuali menunggu dan pasrah. Lalu, ketika dia ditinggal mati suaminya, anak-anak tirinya dan saudara-saudara suaminya ikut mengambil jatah warisan. Dia juga ditahan oleh keluarga suaminya, lalu mereka memperlakukannya seperti pembantu.
Saat seorang wanita ikut berdagang di pasar bersama suami dan kerabatnya, dia tidak boleh makan dan minum bersama. Dia baru diizinkan makan setelah mereka meninggalkan hidangan mereka. Status wanita pada masa itu hanyalah sebagai pemuas kaum laki-laki. Sebaliknya, kaum lelaki memperlakukan wanita secara kasar, zalim, dan angkuh.
Perbudakan |
Perbudakan
Perbudakan telah dipraktikkan oleh imperium Romawi dan lainnya tanpa ada yang menentangnya. Para pemeluk Yahudi membuat sistem perbudakan sesuai dengan asumsi mereka yang sesat atas ajaran-ajaran Taurat. Juga para pemeluk Nasrani yang menerapkan sistem perbudakan berdasarkan surat Paulus yang pernah dikirimkan kepada penduduk Ufsus. Isi surat tersebut berbunyi, “Wahai para budak, taatlah kalian kepada tuan kalian dengan penuh rasa takut dan gentar.. .bukan pengabdian yang terlihat di pelupuk mata saja, layaknya seseorang yang suka terhadap orang lain. Akan tetapi, praktikkanlah sebagaimana kalian menjadi budaknya Isa al -Masih.”
Begitu juga masyarakat ‘Arab, mereka memperbudak manusia dengan sabetan pedangnya. Mereka menjadikannya sebagai budak karena kalah perang. Tidak ada seorang pun yang membicarakan sistem perbudakan. Dalam hal pekerjaan, terkadang budak dipaksa melayani lelaki hidung belang, lalu upahnya diserahkan kepada tuannya. Seseorang yang berstatus budak dipekerjakan secara kasar seperti binatang. Anehnya, mereka yang berstatus budak tidak pernah mengelak dan menentang perlakuan tersebut. Bagaimana mereka mau menentang, sementara mereka juga menyadari bahwa sistem perbudakan menjadi bagian dan integritas kehidupan dan alam mereka.
Kultur Arab
Kehidupan antara kabilah dan suku (clan) dipisahkan oleh sahara Jazirah ‘Arab yang luas. Aturan kehidupan sosial yang rnereka buat rentan perpecahan. Orang ‘Arab tidak mengenal kelompok lain kecuali kabilahnya sendiri. Pergerakan yang mereka usung berbau fanatisme kesukuan yang berlebihan. Mereka ikut berdamai jika kabilahnya mengajak berdamai dengan kabilah lain dan mereka pun ikut berperang jika kabilahnya berperang dengan kabilah lain. Mereka mudah sekali menumpahkan darah hanya karena masalah sepele. Jika sampai terjadi peperangan, situasinya menjadi tidak terkendali, sangat sadis, dan sulit dihentikan, sehingga dapat memakan korban dalam jumlah ribuan.
Ikatan pernikahan yang terjalin antara seorang laki-laki dan wanita adalah atas dasar izin dan walinya. Seorang wanita tidak memiliki hak untuk menolak kemauan walinya. Selain ikatan pernikahan, ada juga ikatan yang terjalin antara laki-laki dan wanita. Ikatan tersebut berupa ikatan pelacuran, canda-tawa, perzinaan, dan hal-hal tercela yang lain.
Perzinaan di tanah ‘Arab sangat merajalela dan menjadi hal yang lumrah, sehingga mereka tak lagi merasa malu melakukannya. Namun, ada di antara golongan dan kalangan terhormat tidak terjerumus ke dalam perbuatan kotor tersebut.
BukhârI mengklasifikasikan ada empat ikatan yang terjalin antara seorang laki-laki dan wanita pada masa jahiliyah:
1. Nikah seperti zaman sekarang ini, yaitu pihak laki-laki datang ke pihak wali perempuan atau langsung ke pihak perempuannya, lalu dia memberinya maskawin dan menikahinya.
2. Seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Jika kamu suci dan haidmu, pergilah ke laki-laki lain dan mintalah kepadanya agar menjimak karnu.” Setelah itu, sang suami melepaskan dia dan tidak menyentuhnya, sampai diketahui dia benar-benar hamil dai laki-laki itu atau tidak.
3. Sekelompok orang yang jumlahnya kurang dari 10 datang menjimak wanita. Lalu ketika dia hamil dan melahirkan, dia pergi menemui mereka dan menyerahkan anaknya kepada mereka. Lalu dia mem ilih salah satu di antara mereka untuk menjadi ayah dan anak tersebut dan laki-laki yang dia pilih tidak boleh menolak apa yang dikatakan wanita itu.
4. Ada sekelompok orang sepakat untuk menjimak seorang wanita. Dia tidak boleh menolak mereka dan biasanya wanita itu memasang tanda di pintu rumahnya. Tanda itu menunjukkan bahwa siapa pun boleh menjimak penghuninya. Lalu ketika dia hamil dan melahirkan, mereka sepakat untuk menentukan siapa bapak dari anak tersebut.
Selain empat model tersebut, ada satu hal lagi, yaitu ikatan antara laki-laki dan wanita yang didasarkan pada mata pedang atau ujung tombak. Artinya, ketika kaum wanita menjadi bagian dan harta rampasan perang, maka pihak yang menang boleh menjimak wanita-wanita tahanannya.
Pada masa jahiliyah, penduduk ‘Arab banyak mempraktikkan poligami. Mereka boleh mengawini wanita lebih dan satu dan tidak ada aturan serta batasannya, baik dari segi jumlah maupun dan garis keturunan.
Setelah itu, datanglah Islam yang mengatur pernikahan berdasarkan norma-norma Islami, sebagaimana terdapat dalam Surah Annisa ‘ayat 3,22, dan 23. Status orang yang merdeka lebih baik daripada budak. Mereka menganggap menjadi budak merupakan malapetaka tersendiri.
Mengundi Nasib
Makkah di suatu siang. Matahari begitu semangat memanggang setiap jengkal tanah. Sebuah kerumunan orang terlihat di sudut kota. Gaduh. Riuh. Mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan diiringi teriakan keras, tidak peduli dengan panas yang kian membara, membakar ubun-ubun kepala.
Siang itu, mereka sedang mengundi nasib melalui sebuah permainan. Alat yang digunakan bernama Azlam, batang anak panah yang tidak ada bulunya. Ada tiga batang anak panah. Anak panah pertama ditulisi “ya”; anak panah kedua dibubuhi kata “tidak”; dan anak panah ketiga tanpa tulisan apa pun. Jika yang keluar anak panah yang ditulisi “ya”, mereka akan melaksanakan pekerjaan yang telah direncanakan. Jika yang muncul anak panah yang ditulisi “tidak”, mereka akan menunda hingga tahun berikutnya. Namun, jika yang keluar adalah anak panah yang tak ada tulisannya, undian akan diulang. Ini adalah kebiasaan orang ‘Arab Jahiliyah di masa itu. Saat akan melakukan acara pernikahan atau perjalanan, mereka mengundinya dengan menggunakan ketiga anak panah itu. Kebiasaan itu telah menjadi budaya, yang diwarisi secara turun-temurun.
Azlam adalah satu di antara sekian banyak perilaku jahiliyah di masa itu, tepat pada abad kelima saat bangsa ‘Arab mengalami kemunduran peradaban. Selain Azlam, mereka menjadikan bebatuan sebagai sesembahan. Batu yang bentuknya bagus akan dijadikan sebagai tuhan yang mereka sembah. Namun, ketika menemukan batu lain yang lebih bagus, mereka pun mengganti batu yang lama den gan batu yang baru, dan begitu seterusnya. (HR. BukhârI)
Takhayul dan khurafat menjadi bagian dan tradisi kehidupan mereka. Paranormal dan ahil tenung memiliki fungsi sosial yang dominan dalam masyarakat. Mereka menjadi ternpat meminta pendapat untuk memutuskan urusan-urusan agama.
Ilustrasi suasana Makkah zaman bangsa Arab dahulu yang dikelilingi banyak berhala |
Menariknya, pada saat yang sama, mereka juga masih melakukan tuntunan agama yang diwarisi nenek moyang mereka, nabi Ibrahim. Mereka menghormati Ka’bah, melakukan thawaf, melaksanakan haji dan urnrah, wukuf di ‘Arafah, menginap di Muzdalifah, dan berkurban. Namun, ada tambahan baru dalam pelaksanaannya.
Misalnya, mereka tak mau wukuf di Arafah. Kata mereka, “Kami adalah anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah suci, penguasa Ka’bah dan penghuni Makkah. Tak seorang pun dari bangsa ‘Arab yang memiliki hak dan kedudukan seperti kami. Karena itu, tidak selayaknya bagi kami untuk keluar dari tanah suci.”
Contoh lainnya adalah mereka mengucapkan talbiyah yang menyekutukan Allah.
“Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali satu sekutu-Mu. Engkau memilikinya dan apa yang ia miliki".
Talbiyah ini aneh. Di satu sisi mereka mengakui Allah, tetapi di saat yang sama mereka menyertakan berhala-berhala sebagai sekutu-Nya dan menjadikan kepemilikan atas berhala-berhala tersebut kepada-Nya.
Tak heran, kala itu di sekeliling Ka’bah banyak berhala. Orang pertama yang melakukan itu adalah ‘Amru bin Luhat, pemimpin Bani Khuza’ah seperti diriwayatkan oleh Muslim. Kisahnya bermula saat ‘Amru berkunjung ke Syâm. Di sana, ia berjumpa dengan kabilah ‘Amâliq di Mu’ab, salah satu wilayah al-Balqa’, yang menyembah berhala. Mereka mengatakan kepada ‘Amru bahwa berhala-berhala itu dapat menurunkan hujan dan pertolongan.
‘Amru memercayainya. Ia pun meminta satu berhala untuk dibawa pulang. Kabilah ‘Amâliq memberikan sebuah berhala bernama Hubal. ‘Amru membawa Hubal ke Makkah dan mengenalkannya kepada penduduk. Ia meminta mereka untuk menyembah dan memuja Hubal, si berhala. Penduduk Makkah menuruti perintah ‘Amru, karena ia penguasa yang disegani. Sejak itulah, tradisi menuhankan berhala tertanam di penduduk Makkah dan JazIrah ‘Arab.
LAPAR DATANG, TUHAN PUN DIMAKAN
Ada cerita menarik terkait perilaku jahiliyah bangsa ‘Arab. Suatu hari, Sa’ib bin ‘Abdullah sedang sibuk memahat patung berhala yang akan disembahnya. Tidak berapa lama, patung itu terbentuk. Wujudnya mirip manusia. Ada kepala, mata, hidung, tangan, dan lainnya. Sa’ib dengan saksama memerhatikan hasil karyanya itu. Lalu, Ia ambil bejana berisi air susu kental. Ia arahkan bejana ke lubang hidung patung dengan maksud agar susu itu dihirup. Sang patung tentu saja tak akan pernah bisa menghirup karena tak bernyawa. Kemudian, Sa’ib menyiramkan air susu ke tubuh patung. Byur... Byur... Byur... Patung itu basah kuyup.
Selang beberapa saat, datang seekor anjing menghampiri patung itu. Hidungnya mengendus-endus seluruh bagian tubuh patung. Lidahnya dijulurkan. Dan apa yang terjadi? Anjing itu menjilati seluruh bagian patung. Setelah puas, anjing tersebut mengangkat satu kakinya dan mengencingi patung yang dijadikan tuhan oleh Sa’ib.Lain lagi dengan kaum Bani Hanifah. Patung yang mereka buat bukan dari kayu atau batu, tetapi tepung terigu. Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad. Sampailah saat kaum ini diterpa bencana kelaparan. Panen gagal. Tak ada lagi pangan yang dapat dimakan. Yang tersisa hanya tepung terigu yang telah berwujud patung. Karena perut tak bisa diajak kompromi, mereka pun beramai-ramai memakan patung tersebut. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada makanan, tuhan pun jadi, mungkin begitu yang ada di benak mereka.
Di Jazirab ‘Arab, terdapat banyak rumah berhala khusus. Mereka memuliakannya sama seperti Ka’bah. Di rumah tersebut, mereka mengadakan persembahan, berthawaf, dan menyembelih hewan kurban.
Di Jazirah ‘Arab juga berkembang penyembahan pada bintang dan planet. Ritual itu banyak dilakuk an di Hâran, Bahrain, dan beberapa wilayah pedalaman. Di Makkah, ada seorang penyembah bintang bernama Abi Kabsyah. Bintang yang disembahnya bernama Sya’ra. Ia menyebarkan ajarannya di kalangan bangsa Quraisy dan diikuti orang-orang dan kabilah Lukham, Khuzâ’ah, dan sebagian kecil orang Quraisy.
Selain menyembah berhala, kebiasaan buruk yang lain adalah bermain judi. Perilaku ini menjadi bag ian dari adat penduduk Makkah, Thâ’if, Shan’â, Hajar, Yatsrib, Dumatul Jandal, dan kota-kota yang lain. Mereka juga biasa meminum khamr (minuman keras). Adat ini biasa dilakukan oleh penduduk kota dan kalangan orang-orang kaya, pejabat, sastrawan, dan seniman.
Kaum wanitanya juga memiliki kebiasaan buruk. Dengan Sengaja, mereka keluar rumah dengan memperlihatkan keindahan bentuk tubuhnya. Saat berjalan di depan kaum laki-laki, secara atraktif mereka melenggok-lenggokkan badannya seakan-akan sedang menawarkan diri. Melihat aksi tersebut, tentu saja mata kaum laki-laki tak berkedip. Kelakuan genit yang tak bermoral itu menjadi tontonan sehari-hari di Makkah. Kaum laki-lak seolah-ojah mendapat pertunjukan gratis dengan aksi tersebut.
Sisi Positif Bangsa Arab
Lazimnya sebuah bangsa, sebobrok apa pun budaya mereka, pasti terselip perilaku positif. Begitu pula bangsa ‘Arab. Apa saja itu?
- Mereka dikenal sebagai bangsa yang jujur dalam perkataan.
- Mereka sangat menghormati tamu.
- Selalu menepati janji dan tidak pernah mengingkarinya.
- Berani, tangguh, pantang menyerah, dan pantang direndahkan. Itulah karakter yang dimiliki bangsa Arab, baik lalci-laki maupun wanita. Hal mi dapat dilihat dan syair dan kisah-kisah tentang mereka.
- Menghormati bulan-bulan (suci) meski mereka sebelumnya banyak berbuat kejahatan.
- Haram menikahi ibu atau putri sendiri.
- Selalu berkumur setiap saat dan juga membersihkan hidung.
- Bersiwak, beristinja’, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
- Anak-anak yang laki-laki dikhitan dan yang perempuan dipotong sedikit.
- Pencuri mendapat hukuman potong tangan, bagian kanan.
Tradisi Klenik Bangsa Arab
A1-Bahirah : Seekor unta dipotong telinganya. Unta tersebut tak boleh ditunggangi dan diminum susunya.
Al-Ham : Seekor unta yang telah menghasilkan keturunan dalam jumlah tertentu, punggungnya harus dilindungi. Tak boleh dinaiki dan dijadikan kendaraan. Unta tersebut dibiarkan berkembang biak.
Azlam ; Undian tiga anak panah. Anak panah pertama ditulisi “ya”; anak panah kedua dibubuhi kata “tidak”; anak panah ketiga tanpa tulisan apa pun. Jika yang keluar anak panah yang ditulisi “ya”, maka mereka akan melangsungkan pekerjaan yang telah direncanakan. Jika yang muncul anak panah yang ditulisi “tidak”, maka mereka akan menunda sampai tahun berikutnya. Namun, bila yang keluar adalah anak panah yang tidak ada tulisannya, undian akan diulang.
Thawaf yang salah : Jika tidak ada baju dan pakaian yang halal, mereka berthawaf dalam keadaan telanjang. Kaum wanita hanya menutup bagian kemaluannya.
As-Sai’bah : Unta yang diberikan untuk sesembahan mereka sebagai nazar atau maksud lainnya.Unta tersebut tak boleh ditunggangi, tidak boleh diminum susunya, dan dagingnya juga tidak
boleh dikonsumsi.
An-Nasi’ : Mengakhirkan bulan Muharram dan Shafar hanya untuk menghalalkan pembunuhan atau perburuan.
Wukuf yang salah : Para pembesar Makkah berwukuf di Muzdalifah; bukan ‘Arafah. Sementara masyarakat ‘Arab lainnya tetap di ‘Arafah, tak boleh di Muzdalifah.
Agama-agama di Arab
Di ‘Arab, mayoritas masyarakat saat itu memeluk agama syirik karena menyembah pada berhala. Sebelum itu, sudah ada beberapa agama di ‘Arab, yaitu Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shâbi’ah.
Kedatangan Yahudi disebabkan oleh dua hal. Pertama, mereka pindah ke tanah ‘Arab akibat penaklukkan Bangsa Babilon dan Asyur di Palestina di era Bukhtanashar pada tahun 587 SM. Sebagian mereka melarikan din ke utara Hijaz.
Kedua, diawali oleh penjajahan Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 M. Kaum Yahudi dibinasakan, begitu juga tempat peribadatannya. Mereka pindah ke Hijáz di daerah Yatsrib, Khaibar, dan Taima’.
Agama Yahudi masuk ke Yaman dibawa oleh As’ad Abu Karib. Ia membawa dua pemuka Yahudi Bani Quraizhah usai berperang di Yatsrib. Agama Yahudi lalu berkembang cukup pesat di Yaman. Salah satu pemeluknya adalah raja Yaman, Dzun Nuwwas. Dia pernah memaksakan agama Yahudi kepada penduduk Najran yang sudah beragama Nasrani. Narnun, penduduk Najran menolak, dan Dzun Nuwwâs pun membakar mereka di dalam parit. Beberapa riwayat menyebutkan, peristiwa itu terjadi pada tahun 523 M dan menelan korban sekitar 20 ribu hingga 40 ribu orang.
Peristiwa ini diceritakan dalam al-Q ur’an, Binasa dan terlaknatlah orang—orang yang membuat parit. Yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (QS. al-Buruj [85]: 4--8)
OASIS DI PADANG PASIR
Tak seluruh masyarakat ‘Arab berp erilaku jahiliyah. Di antara mereka ada yang tak hanyut dalam tradisi
menyesatkan. Mereka mi disebut
orang-orang hanif yang mengikuti
ajaran nabi Ibrahim secara konsisten sesuai firman Allah, Sesungguhnya
aku men ghadapkan diriku kepada
(Tuhan) yang menciptakan langit
dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (HanIfa), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang termasuk mempersekutukan-Nya.(QS. aI-An’âm [6]: 79)Pada ayat lain, Allah berfirman,ibrahim bukanlah seorang YahucJi dan bukan (pula) seorang Nasrani. Akantetapi, dia adalah seorang yang lurus (HanIfa), lagi berserah din (kepadaAllah) dan sekali-kalj bukanlah dia
termasuk golongan orang-orangmusyrik. (QS. Aij ‘Imrân [3]: 67)Siapakah mereka mi yang
keberadaannya bagai oasis di padang pasir yang gersang? lnilah beberapa di antaranya: Zaid bin ‘Amru bin Nafil, Quss bin Saidah al-lyadi, Umayyah
bin AbI Shalat, Labid bin RabI’ah alA
miri al-KilabI al-Ja’fari, dan ‘Abdul
Muthallib, kakek Rasulullah saw.
Pada mulanya agama Yahudi adalah agama tauhid yang diturunkan Allah kepada Bani Israel untuk memuliakan Bani Israel di antara kaum-kaum lain yang satu masa dengan mereka. Namun, mereka melakukan penyimpangan dan mencampuradukkannya dengan paganisme. Kitab Taurat diwarnai dengan ungkapan yang tidak pantas unmk Allah. Misalnya, mereka mengatakan Allah merasa kelelahan pada hari keenam setelah menciptakan alam raya. Maka, Dia pun beristirahat pada hari ketujuh (Sabtu). Inilah mengapa bangsa Yahudi mengharamkan diri untuk bekerja pada han Sabtu.
Mereka juga menulis dalam Taurat yang telah diubah, bahwa Allah adalah hanya Tuhan bangsa Yahudi. Dia tidak menyukai bangsa lain, karena bangsa Israel adalah bangsa terpilih dan umat-umat
yang lain laksana domba yang tidak dipedulikan oleh Allah. Mereka juga menghina dan memfitnah nabi-nabi dengan sesuka hati. Mereka menyebut nabi Nuh sebagai pemabuk berat, nabi Luth sebagai manusia yang amoral dan keji, nabi Ibrahim pernah menjadi mucikari, nabi Yakub sebagai penipu, dan nabi Isa sebagai anak haram. Bahkan, terhadap nabinya sendiri, nabi Daud, mereka menuduhnya telah berzina dengan istri salah satu panglima perangnya. Oleh karena itu, tak heran jika mereka sering bertikai dengan pemeluk agama lain.
Yang paling sering adalah dengan kaum Nasrani. Pada abad ke-7 M, mereka mengadu domba umat Nasrani Antokia dengan pemimpin Persia, Vokas. Akibatnya, terjadi pembantaian sangat keji terhadap orang-orang Nasrani Antokia. Kaum Yahudi juga membantu bala tentara Persia dalam memerangi umat Nasrani yang ada di Syâm.
Tembok ratapan dan salah seorang Yahudi yang sedang meratap |
Bangsa ‘Arab yang ada di Yatsrib (Madinah) termasuk salah satu umat yang pernah merasakan kesengsaraan hidup akibat ulah orang-orang Yahudi. Kaum Yahudi senantiasa mengobarkan api peperangan antara suku Aus dan Khazraj. Ada juga agama Majusi dan Shâbi’ah. Agama Shâbi’ah berkembang di ‘Iraq, Syâm, dan Yaman. Namun, agama mi mengalami kemunduran setelah kedatangan beberapa agama baru seperti Yahudi dan Nasrani. (arR abtqul Makhthzam).
Sementara Kristen masuk ke ‘Arab mel alui Yaman yang dibawa oleh orang-orang Habasyah dan Romawi pada tahun 340 M. Kala itu, misionanis Nasrani menyusup ke Yaman untuk menyebarkan ajarannya.
Agama Nasrani kian berkembang pesat setelah orang-orang habasyah menduduki Yaman dan Abrahah menjadi penguasanya. Abrahah bahkan membangun sebuah gereja di Yaman yang diberi nama: Ka’bah Yaman, untuk menandingi Ka’bah di Makkah.
Kaum Quraisy sendiri ada beberapa yang memeluk Nasrani, salah satunya Bani As’ad bin ‘Abdul ‘Uzzâ. Mereka mendapatkan ajaran Nasrani dan bangsa Romawi. Dan salah satu penyebar dan bangsa ‘Arab yang terkenal adalah ‘Adi bin ath-Thâ’i.
Sedangkan, agama Majusi berkembang di kalangan orang-orang ‘Arab yang berdekatan dengan Persia. Majusi juga pernah berkembang di kalangan orang-orang ‘Arab ‘Iraq dan Bahrain serta di wilayah pesisir Teluk ‘Arab.