Makam ibunda Rasulullah saw., Aminah |
Aminah gembira dengan kepulangan Muhammad. Hari-harinya disibukkan dengan mengajak main anak tercintanya itu. Kerinduannya yang lama terpendam akhirnya telah tertuntaskan. Kasih sayangnya ia tumpahkan kepada anak satu-satunya ini.
Setiap kali menatap wajah Muhammad, ia teringat dengan mendiang suaminya, ‘Abdullah, yang meninggal saat Muhammad masih di dalam kandungan. Jika mengingat itu, gurat kesedihan tampak di wajah Aminah. Aminah memang tidak dapat melupakan suaminya. Rasa rindunya terus meluap-luap jika mengingat kebersamaan mereka yang begitu singkat.
Suaru hari, untuk mengobati keninduannya itu, Aminah pergi ke Yatsrib (Madinah), mengunjungi makam ‘Abdullâh. Ia mengajak Muhammad yang masih berusia enam tahun dan mertuanya ‘Abdul Muthallib. Ummu Aimân, pembantu setia Aminah, juga ikut serta. Jarak yang mereka harus tempuh begitu jauh, sekitar 400 km. Namun, Aminah tak peduli. Ia ingin bertemu dengan ‘Abdullah, meski dalam bentuk makamnya saja. Rasa rindunya yang membara tak mampu dikalahkan terjangan angin padang pasir yang kencang dan debu-debu yang beterbangan. Terik matahari yang menyengat justru kian membuat api rindunya semakin berkobar.
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, Aminah dan rombongan sampai juga di Yatsrib. Ia ajak Muhammad kecil ke makam ayahnya. Aminah begitu terharu saat menyaksikan Muhammad mendekati kuburan ‘Abdullâh. Muhammad hanya dapat melihat gundukan tanah dan batu nisan, bukan wajah ayahnya. Muhammad tidak pernah melihat sosok ayahnya tercinta, sepanjang hidupnya. Aminah tak kuasa menahan haru. Andai ayahmu masih hidup, begitu gumam Aminah dalam hati, beliau pasti akan menyayangimu, Muhammad. Air mata mengalir di pipinya. Ia tersedu sedan.
Satu bulan sudah Aminah dan keluarganya tinggal di Yatsrib. Ia pun mengajak Muhammad dan ‘Abdul Muthallib kembali ke Makkah. Belum juga mereka sampai di Makkah, rasa sakit mendera Arninah. Suhu tubuhnya panas, kian lama semakin meninggi. Kepalanya pusing. Keringat mengucur dari pori-pori kulit Aminah. Badannya menggigil. Aminah demam. ‘Abdul Muthallib cemas melihat kondisi Aminah, begitu juga Muhammad.
Rasa sakit Aminah kian tak tertahankan. Maut semakin dekat. Detik-detjk akhir kehidupan Aminah di ambang pintu. ‘Abdul Muthallib, Ummu Aiman, dan Muhammad yang baru genap enam tahun, menjadi seorang yatim piatu, tiada berayah-ibu.
Tak ada lagi belaian tangan seorang ibu yang lembut. Tak ada lagi senandung syair yang sering dilantunkan ibunya. Tak ada lagi seorang ibu yang mengajaknya bermain, mendongenginya scbelum tidur. Sernua tinggal kenangan. ‘Abdul Muthallib memeluk Muhammad erat-erat. Dekapan iba sekaligus rasa sayang seorang kakek kepada cucunya. (Ibnul Jauzi, diriwayatkan Muhammad bin Sa’ad)
Jasad Aminah dimakamkan di Abwâ’. ‘Abdul Muthallib dan Muhammad masih terlihat sedih. Mereka tak ingin rneninggalkan Aminah sendirian.
‘Akan tetapi, hidup harus terus berjalan. Mereka pun pulang meninggalkan gundukan tanah yang masih memerah dengan ditemani angin duka sepanjang perjalanan.
Letak kota Abwa |
Di bawali Asuhan Sang Kakek
Muhammad kecil kini diasuh ole kakeknya, ‘Abdul Muthallib, di Makkah. Ia begitu menyayangi Muhammad kecil. Ia tidak segan menciumnya di hadapan khalayak ramai, menggendongnya, dan membawanya ke sana kemari bak sekuntum mawar. Lebih dari itu, sang kakek amat mengagumi cucunya.
Pernah suatu hari, Muhammad menduduki singgasana yang disediakan kafir Quraisy untuk ‘Abdul Muthallib. Singgasana itu sebagai bentuk penghormatan kepada kakek Muhammad karena ia seorang pembesar suku Quraisy yang ditaati.
Setiap mata yang rnemandangnya akan terpesona oleh kerupawanan, kewibawaan, kearifan, dan kemuliaan pribadi ‘Abdul Muthallib. Jika dia datang, semua orang tertunduk dan tidak seorang pun bernyali untuk berbicara di hadapannya. Dialah yang berwenang untuk berbicara atas nama Quraisy kepada penguasa di negeri-negeri tetangga; dia pula yang menduduki jabatan duta besar kabilah Quraisy, dan menerima delegasi dari luar.
Selama ini, tidak seorang pun berani mendekat, apalagi duduk di atas singgasana ‘Abdul Muthallib. Namun, Muhammad kecil, dengan lugu dan berani, menduduki singgasana sang kakek. Seorang pembantu menarik tubuh Muhammad dan menurunkannya dari atas singgasana ‘Abdul Muthallib. Namun, Muhammad kembali menduduki tempat itu.
Ulah Muhammad kecil membuat geram orang-orang di sekitar singgasana. Mereka menduga anak kecil itu pasti akan dikenakan hukuman oleh ‘Abdul Muthallib. Namun, dugaan mereka meleset. Bukannya marah, sang kakek hanya tersenyum melihat ulah cucu kesayangannya.
Dia elus punggung Muhammad dengan penuh kasih sambil berujar, “Biarkan dia. Demi Allah, kelak dia akan menjadi orang besar!”
Kasih sayang sang kakek tak bertahan lama. Kembali Muhammad ditinggalkan orang yang mencintainya. Saat Muhammad berusia 8 tahun 2 bulan dan 10 hari, sang kakek meninggal di Makkah. Muhammad bersedih. Masa-masa indah bersama kakeknya hanya tinggal kenangan. Ia lalu diasuh oleh saudara kandung ‘Abdullâh—ayah Muhammad—yaitu Abu Thâlib, sesuai wasiat ‘Abdul Muthallib. (Ibnu Hisyâm).
Muhammad beruntung. Kasih sayang yang diberikan pamannya, Abü Thâlib, tak kurang dari kasih sayang yang diberikan kakeknya. Bahkan, sang paman sering memberikan kasih sayang yang berlebih kepada kemenakannya itu.
Paman yang Penuh Empati
Suatu masa di Makkah. Kemarau panjang membuat penderitaan luar biasa penduduk Makkah. Hujan tak kunjung turun, kekeringan di mana-mana, kemiskinan merajalela. Kaum Quraisy resah melihat kondisi ini. Mereka lalu berteriak memanggil Abu Thâlib.
PENYESALAN SANG KAKEK
Rasa sayang ‘Abdul Muthallib kepada Muhammad terlihat dalam kisah ini. Suatu hari, ‘Abdul Muthallib menyuruh Muhammad kecil untuk mencari untanya yang hilang. Muhammad kecil segera pergi mencarinya. Berbagai daerah didatangi olehnya. Setelah cukup lama, Muhammad tak kunjung pulang. Sang kakek mulai cemas dan sedih, khawatir terjadi sesuatu pada diri cucu kesayangannya itu. Jika itu terjadi, ia merasa bersalah dan sangat menyesal. Kegelisahan terus menyelimuti ‘Abdul Muthallib.
Tak lama kemudian, sosok yang dinanti muncul. Muhammad kecil datang dengan membawa unta yang hilang. Rona muka ‘Abdu Muthallib sontak berbinar. Ia segera berlari menemui cucunya dan Iangsung memeluknya erat-erat seakan tak ingin berpisah lagi. Sejak saat itu, Ia bersumpah tak akan pernah lagi menyuruh cucunya pergi. Selain itu, ia juga berjanji tak akan pernah meninggalkan cucunya sendirian. (Majma’ az-Zawâ’Id)
“Wahai Abñ Thâlib! Lembah telah mengering airnya, kemiskinan di mana-mana, mari kita meminta hujan!”
Mendengar itu, paman Muhammad segera keluar rumah. Ia tidak sendiri. Tangannya menggandeng seorang anak yang tak lain Muhammad. Abü Thâlib memegangi Muhammad dan menempelkan punggungnya ke Ka’bah. Saat itu langit bersih, tidak ada gumpalan awan sama sekali. Tiba-tiba, awan menggumpal lalu turunlah hujan dengan deras. Lembah-lembah dialiri air dan persawahan menjadi subur. (Ibnu ‘Asákir meriwayatkan hadits dari Jalhamah bin Arfathah)
Tidak hanya itu keistimewaan Muhammad remaja. Allah swt senantjasa menurunkan berkah saat Muhammad makan bersama paman dan saudara-saudara sepupunya. Usai makan, semua merasa kenyang. Berbeda ketika Muhammad tidak makan bersama mereka. Sungguh mengherankan, meskipun makanan telah habis, rasa lapar tak kunjung terobati.
Begitu pula saat Muhammad tidur bersama dengan anak-anak Abu Thâlib. Ketika terbangun, mata anak-anak Abu Thâlib itu terlihat kusut dan kotor, tapi tidak demikian dengan Muhammad. Seolah-olah matanya diberi celak dan wajahnya tampak cerah dan segar.
Itulah antara lain alasan mengapa Abu Thâlib mencintai kemenakannya melebihi cintanya kepada anak sendiri; dan merasa lebih dekat dengan Muhammad melebihi kedekatannya kepada anak kandungnya. Abu Thâlib memperjuangkan, membela, dan berkorban demi Muhammad, bahkan hingga Muhammad diangkat menjadi nabi. Abu Thâlib terus melindungi Muhammad dari gangguan kaum Quraisy hingga akhir hayatnya.
Hikmah Keyatiman Muhammad Allah swt menghendaki Nabi saw hidup sebagai yatim dan jauh dari pendidikan ayah, ibu, dan kakeknya. ini agar para penentang dakwah Islam tidak memiliki dalih untuk mendengungkan keragu-raguan ke dalam hati dan pikiran manusia bahwa agama Islam hasil dari pemikiran ayah, ibu, dan kakek Muhammad.
Jika saja Muhammad tak menjadi yatim, pastilah fitnah semacam itu muncul. Sebab, kakek Rasulullah saw memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat di tengah-tengah kaumnya. Sang kakek adalah penanggungjawab Ka’bah dan pelayan jamaah haji saat menunaikan ibadah haji.
Keyatiman Muhammad saw juga menjadi cermin atau pelajaran bagi segenap anak-anak yatim di setiap zaman dan di mana pun berada. Agar mereka mengetahui bahwa menjadi yatim bukanlah sebuah siksaan dan penderitaan. Menjadi yatim bukan berarti kita boleh berpangku tangan mengutuki nasib serta mengharapkan belas kasih orang lain .