Dakwah Islam yang mulai terbuka membuat cemas kaum Quraisy. Mereka tak menduga Rasulullah saw kian banyak mendapat pengikut. Setiap hari, jumlahnya semakin bertambah. Jika ini dibiarkan, maka akan sangat mengancam keberadaan kaum Quraisy. Rasa cemas mereka kian menjadi-jadi karena Rasulullah saw dilindungi oleh Abu Thâlib. Hingga akhirnya lahir ide untuk berunding dengan Abu Thâlib agar dakwah Islam dihentikan.
Suatu hari, sekelompok bangsawan Quraisy menghadap Abu Thâlib. Dialog pun terjadi.
“Wahai Abü Thâlib! Keponakanmu sungguh telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, membuyarkan impian kita, dan menganggap sesat nenek moyang kira,” kata para pemimpin Quraisy.
“Oleh sebab itu,” lanjut mereka, “Engkau hanya punya dua pilihan: mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Kondisimu sama dengan kami, tak sependapat dengannya. Karenanya, kami berharap dapat mengandalkanmu untuk menaklukkannya.”
Abü Thâlib kemudian berkata kepada mereka dengan tutur kata lembut, halus, dan sopan. Setelah itu, mereka akhirnya undur diri sementara Rasulullah saw tetap melaksanakan kegiatannya seperti biasa, menyebarkan agama Allah dan mengajak manusia kepada-Nya. (Ibnu Hisyâm)
Rasulullah disebut Gila
Khutbah Rasulullah saw di atas Bukit Shafâ dan kegagalan membujuk Abü Thalib telah membuat gusar kaum Quraisy. Mereka makin resah karena banyak penduduk Makkah yang terpengaruh.
Kerisauan mereka kian bertambah menjelang datangnya musim haji. Delegasi dan negeri-negeri ‘Arab akan datang ke Makkah. Oleh sebab itu, mereka merasa penlu membuat perjanjian kepada semua delegasi dan Jazirah ‘Arab perihal Muhammad, agar dakwahnya tidak memengaruhi mereka.
Rumah Walid bin Mughirah menjadi awal dari hari-hari yang penuh duri di dalam kehidupan Muhammad saw. Di rumah itu diadakan pertemuan. Tamu yang datang adalah para pembesar.
Agendanya adalah membicarakan suatu pernyataan yang tepat dan disepakati untuk disampaikan kepada jamaah haji guna menghambat dakwah nabi Muhammad saw.
Walid, sang tuan rumah, membuka pertemuan. “Satukan pendapat mengenai Muhammad, dan jangan berselisih yang membuat sebagian kalian mendustakan pendapat yang lain dan sebagian lagi menolak pendapat sebagian yang lain.”
“Ceritakan pendapatmu yang dapat kami jadikan acuan!” kara mereka yang ikut rapat.
“Justru kalian yang harus mengemukakan pendapat kalian, biar aku mendengarnya terlebih dulu,” ujar Walid.
“Kita katakan, Muhammad adalah seorang dukun,” jawab para pembesar Quraisy.
“Tidak!” kata WalId tidak setuju.
“Demi Allah, dia bukanlah seorang dukun. Kita tahu apa yang dibaca dan bagaimana kondisi seorang dukun. Namun, apa yang dikatakan Muhammad tidak sama seperti komat-kamit ataupun mantra para dukun.”
Para tamu terdiam. Sejenak kemudian mereka kembali bersuara. “Kita katakan saja, dia (Muhammad) orang gila.”
Waild lagi-lagi tidak sependapat.
“Tidak! Demi Allah! Dia bukan orang gila. Kita mengetahui apa itu gila dan telah mengenal ciri-cirinya, sedangkan apa yang dikatakan oleh Muhammad tidak termasuk tanda-tanda gila.”
“Kalau begitu, kita katakan saja dia adalah seorang penyair,” usul para pembesar Quraisy.
“Dia bukan seorang penyair. Kita telah mengenal semua bentuk syair: rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh, dan mabsuth, sedangkan yang dikatakannya bukanlah syair,” jawab Walid.
Para tamu yang hadir bingung. Apalagi yang harus diucapkan untuk menghina Muhammad.
“Kalau begitu, dia adalah tukang sihir.
Walid menjawab, “Dia bukan tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka, sedangkan yang Muhammad katakan bukan jenis nafis (hembusan) pada ‘uqad (buhul-buhul) tukang sihir.”
“Kalau begitu, apa yang harus kita katakan?” tanya mereka penuh kebingungan.
“Demi Allah! Ucapan yang Muhammad katakan itu sangat manis, dan punya daya magis karena indahnya. Akarnya ibarat
MUHAMMAD ABTAR
Berbagai cara dilakukan kaum Quraisy untuk menghambat dakwah. Salah satunya dengan menghina Nabi saw sebagai Muhammad Abtar (tidak bisa mempunyai keturunan) setelah ‘Abdullâh meninggal. Hinaan itu membuat Khadijah sedih. Julukan itu seperti menyinggung dirinya yang tidak mampu melahirkan lagi karena telah lanjut usia. Hatinya tersayat-sayat. Tangis menghiasi wajah Khadijah. Hingga akhirnya, turun surah al-Kautsar untuk meringankan kesedihan Khadijah,
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (QS. aI-Kautsar [108]: 1--3)
tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon rindang. Kalian tidak akan merangkai sesuatu pun yang mirip dengannya melainkan akan diketahui celanya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih cocok mengenai Muhammad adalah dengan mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir yang mengarang mantra yang dapat memisahkan seseorang dan bapaknya, saudaranya, dan pasangannya,” jawab Walid. (Ibnu Hisyâm)
Sebagian riwayat mengatakan bahwa saat Walid menolak usulan yang dilontarkan kaumnya, lalu mereka berkata kepada Walid.
“Kalau begitu, sampaikan pendapat engkau yang tak dapat kami bantah lagi.”
“Beri aku waktu sebentar untuk mem ikirkannya,” Walid.
Dia lalu memutar otaknya untuk mencari julukan yang tepat untuk Muhammad, hingga akhirnya muncul sebutan sebagai tukang sihir. (Fi Zhilalil-Qur’an)
Usul Walid disepakati para pembesar Quraisy. Aksi jahat mereka segera dilakukan. Saat musim haji tiba, mereka duduk di jalan-jalan yang dilewati para jamaah haji dan delegasi dari penjuru negeri Arab. Kepada setiap orang yang melintas, mereka mem itnah Rasulullah saw. (Ibnu Hisyâm)
“Muhammad rnkang sihir!”
“Muhammad pengarang mantra!”
“Muhammad pendusta!”
“Muhammad gila!”
Mereka tenus menghina dan memfitnah Nabi saw. Kata-kata mereka kasar dan menyakitkan. Rasulullah saw tidak mundur, meski selangkah, walau ia disebut gila. Nabi saw justru kian giat berdakwah. Rasulullah saw membuntuti setiap orang yang datang dan lewat di hadapannya sampai ke rumah mereka. Beliau melakukan itu di pasar ‘Ukazh, Majinnah, dan Dzul Majaz, mengajak mereka ke jalan Allah.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw tidak lepas dari pantauan Abu Lahab. Ke mana Muhammad saw melangkah, maka akan selalu ada Abu Lahab di dekatnya. Setiap kali Nabi saw mengajak orang untuk mcngikuti ajaran Islam, Abu Lahab langsung memotongnya.
“Jangan kalian taati dia, karena dia adalah seorang yang mengikuti syariat nabi-nabi terdahulu, atau penyembah bintang atau dewa-dewa, dia adalah seorang pendusta.”
Abu Lahab tidak saja mendustakan Rasulullah saw, tapi dia juga melempari beliau dengan batu hingga kedua tumit Nabi saw berdarah. (Kanzul ‘Ummal)
Begitulah perlakuan Abu Lahab terhadap Rasulullah saw, padahal dia adalah paman beliau, rumahnya berdampingan dengan rumah Rasulullah saw. Ibnu Ishaq berkata, “Mereka yang selalu mengganggu Rasulullah saat beliau berada di rumah adalah Abü Lahab, Hakam bin Abi al-’Ash bin Umayyah, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Adi bin Hamra’ ats-Tsaqafi, dan Ibnu Ashda’ al Hazali.
Semuanya adalah tetangga-tctangga beliau, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang masuk Islam, kecuali Hakam bin Abi al-’Ash. (Mustadrak, Hâkim)
Dua Anak Perempuan Nabi saw Dicerai
Setelah semua yang dilakukan Quraisy tidak berpengaruh sedikit pun, Abu Lahab lalu memerintahkan kedua anak laki lakinya--yang merupakan para suami dari dua anak perempuan Nabi saw: Ruqayyah dan Ummu Kultsüm--untuk menjatuhkan talak. Setelah peristiwa itu, Ruqayyah diperistri ‘Utsmân bin ‘Affân, sedangkan Ummu Kultsum yang telah berumur tidak menikah lagi.
Meski demikian, Nabi saw sama sekali tidak pernah putus asa. Bahkan, beliau mengajak Abü Lahab untuk masuk Islam. Abü Lahab menolak ajakan Nabi saw dengan mengatakan, “Wahai Muhammad, apakah engkau ingin agar aku bcrsaksi di hadapan Tuhanmu bahwa engkau telah menyampaikan risalah?” Akhirnya Nabi saw menyingkir pergi meninggalkan Aba Lahab.
Sepeninggal Rasulullah saw, Abü Lahab berkata kepada para sahabatnya.
“Aku tahu bahwa sesungguhnya dia berada di jalan yang benar.” Akan tetapi, dia tetap memusuhi Rasulullah saw meski hati kecilnya mengakui kebenaran Rasulullah saw dan Islam,
Kampanye Kebohongan
Kaum Quraisy tidak menyerah. Mereka berjuang keras untuk menghambat laju dakwah Nabi, seribu satu cara mereka rancang. Ketika kaum Quraisy menyelesaikan ritual haji, mereka segera memikirkan cara-cara yang akan digunakan untuk menghalangi dakwah Islam. Salah satunya dengan menggencarkan kampanye kebohongan.
Mereka telah banyak melakukan kebohongan dengan beragam jenis dan seninya. Mereka selalu berkata tentang alQ ur’an seperti yang Allah abadikan dalam firman-Nya,
Bahkan, mereka berkata (pula), (al Qur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya Muhammad, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya dia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul terdahulu. (QS. al-Anbiya’[21]: 5)
Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mimpi Muhammad di malam hari yang dibacakan pada siang hari. Mereka juga mengatakan bahwa al-Qur’an itu diciptakan oleh Rasulullah saw.
Allah berfirman,
Dan orang-orang kafir berkata, ‘4l- Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-ada kan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain... “(QS. al Furqan [25]: 4)
Mereka juga mengatakan bahwa al Qur’an adalah ajaran manusia yang diajarkan kepada Muhammad. Allah merekam hal ini dalam al-Qur’an,
Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). (QS. an-Nahl [16]: 103)
Mereka juga sering mengatakan bahwa Muhammad telah bekerja sama dengan teman-temannya dalam membuat al-Qur’an.
Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. (QS. al-Furqân [25]: 5)
Terkadang mereka mengatakan, “Sesungguhnya, dia memiliki jin atau setan dan turun kepadanya sebagaimana turunnya jin dan setan atas para dukun.” Maka Allah memberikan jawaban kepada mereka dengan firman-Nya,
Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun pada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 221--222)
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa setan-setan itu turun kepada orang-orang pendusta dan durjana yang berlumuran dosa.
Kadang kala, mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah gila. Dia mengkhayalkan makna-makna, lalu dia bentuk dalam kalimat yang sangat indah sebagaimana dilakukan para penyair. Tentang tuduhan ini pun, Allah memberikan jawaban dalam firman-Nya,
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? (QS. asyS yu’ara’ [26]: 224--226)
Itulah tiga ciri yang ada pada para penyair, yang tidak satu pun terdapat di dalam diri Rasulullah saw. Orang-orang yang mengikutinya adalah yang mendapat petunjuk. Mereka memiliki kesalehan akhlak dan perilaku.
Rasulullah saw pun tidak mengembara ke lembah-lembah sebagaimana para penyair. Sebaliknya, Rasulullah saw berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, mengajak pada satu agama. Dia tidak mengatakan kecuali yang dia lakukan, tidak mcngcrjakan sesuatu kecuali yang dia katakan. Maka bagaimana mungkin dia dikatakan sebagai seorang penyair?
Ayat-ayat al Qur'an yang ditulis pada masa Utsman bin Affan yang tersimpan di Topkapi Palace Museum,Istanbul Turki |
Menghalangi Belajar Al-Qur'an
Orang-orang musyrik juga menghalangi manusia untuk tidak dapat mendengarkan dan mengkaji al-Qur’an. Mereka mengusir orang-orang yang mau mendengarkan al-Qur’an. Mereka bernyanyi- nyanyi jika melihat Rasulullah saw shalat atau membaca al-Qur’an di depan Ka’bah.
Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. Fushshilat [41]: 26)
Intimidasi ini terus dilakukan hingga Rasulullah saw tidak dapat membaca al-Qur’an di tengah-tengah mereka, kecuali pada akhir tahun kelima masa kenabian. Itu pun beliau lakukan secara spontan, tanpa mcreka sadari.
Kemudian, untuk melawan firman-firman Allah yang dibacakan, kaum Quraisy merancang strategi khusus dengan mengumpulkan kisah-kisah masa lalu sebagai tandingan. Mereka mengutus Nadhar bin Hârits ke Hirah. Di sana ia belajar cerita tentang raja-raja Persia, Rustum, dan Asvandiar. Bila Rasulullah saw usai berwasiat dan mengingatkan manusia akan Hari Pembalasan, Nadhar berbicara kepada orang-orang,
“Demi Allah! Ucapan Muhammad itu tidaklah lebih baik daripada ucapanku mi.”
Dia lalu mengisahkan kepada mereka cerita raja-raja Persia, Rustum, dan Asvandiar. Setelah itu, dia mengoceh, “Kalau begitu, bagaimana bisa ucapan Muhammad itu lebih bagus daripada ucapanku ini?” (Ibnu Hisyâm)
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs disebutkan bahwa Nadhar membeli seorang budak perempuan. Setiap dia mendengar ada seseorang yang tertarik dengan Islam, dia segera membawa orang itu kepada budak perempuannya. Lalu dia berkata kepada budak perempuannya.
“Beri dia makan, minum, dan penuhi kebutuhannya! ini adalah lebih baik daripada apa yang diajak oleh Muhammad kepadamu.”
Allah lalu menurunkan firman-Nya:
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dan jalan Allah.... (QS. Luqman [31]: 6)
KOTORAN DAN DURI DI RUMAH NABI SAW
Rasulullah saw tampak bersiap keluar rumah. Hari itu, Nabi saw akan pergi ke Ka’bah, bertemu dengan Abu Bakar. Setelah pamit dengan Khadijah, Rasulullah saw bergegas menuju pintu rumah.
Wajahnya terkejut sesaat setelah pintu terkuak. Tepat di depan rumahnya, berserakan kotoran dan duri. Beliau tidak marah. Manusia pilihan itu tidak mengeluh dan berteriak memaki-maki.
Dengan lembut, Muhammad saw berkata, “Bagaimana perlakuan tetangga ini ?“
Siapakah pelaku perbuatan tak pantas itu? ia adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Ia menjadi salah satu orang yang tak kenal lelah meneror Rasulullah saw. Pernah, suatu saat ia mencari Rasulullah saw dengan membawa batu besar di tangannya setelah mendengar ada ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan tentang dirinya dan suaminya.
“Di mana Muhammad? Di mana Muhammad?” teriaknya kepada setiap orang yang ditemui sepanjang jalan.
“Muhammad ada di Ka’bah bersama Abu Bakar,” kata seseorang kepada Ummu Jamil.
Ia segera mengayunkan langkah menuju Ka’bah. Sorot matanya tajam. Bara api amarah begitu menggelora di dalam jiwanya. Saat tiba di Ka’bah, Ia bertemu dengan Abu Bakar.
“Di mana sahabatmu itu?” kata Ummu Jamil dengan napas terengah-engah.
Abu Bakar heran mendengar pertanyaan itu. Apa yang terjadi pada diri orang ini, pikir Abu Bakar. Tidakkah wanita ini melihat bahwa Nabi saw jelas-jelas sedang duduk di samping dirinya.
Belum sempat Abü Bakar menjawab, Ummu Jamil lantas berkata, “Dia membuat syair tentangku, aku pun bisa membuat syair tentangnya.”
Yang tercela, kami menentangnya.. Perintahnya, kami abaikan.. Agamanya, kami benci..
Syair itu membuat orang Quraisy memanggil Nabi saw dengan sebutan “yang tercela”. Para sahabat Nabi saw sangat malu, tetapi beliau menenangkan mereka.
“Biarkanlah. Karena sesungguhnya yang mereka caci adalah yang tercela, sedangkan aku adalah Muhammad (Yang terpuji).”
Setelah Ummu Jamil berlalu, Abu Bakar bentanya, “Wahai Rasulullah, engkau melihat bahwa dia tidak dapat melihatmu?”
“Dia tidak dapat melihatku. Allah telah membutakan pandangannya,” jawab Rasulullah saw.