Kuil Bahira |
Kuil Bahira |
Muhammad kini telah berusia 12 tahun. Sudah sekitar empat tahun ia berada di bawah asuhan Abu Thalib. Suatu saat, Abu Thalib mengajaknya berdagang ke Syam. Memasuki kota Basra, rombongan beristirahat. Di kota itu, terdapat seorang rahib terkemuka bernama Bahira yang tinggal di kuilnya.
Sang rahib menjadi kiblat umat Nasrani pada masa itu. Kafilah (rombongan dagang) yang hendak menuju Syam lazimnya singgah di kuil itu untuk melepas lelah. Biasanya pula, setiap kali ada tamu yang singgah, Bahira tidak pernah menyapa, apalagi memberi jamuan.
Namun, kali ini berbeda. Ketika rombongan Abu Thâlib mendekati kawasan kuil, Bahirâ menyambutnya dengan menyediakan berbagai macam makanan. Apa gerangan maksud si rahib?
Ternyata, sambutan hangat tersebut tidak lain disebabkan mimpi Bahirâ yang melihat Muhammad remaja datang bersama kafilah dagang menuju kuilnya, diiringi awan yang selalu memayunginya ke mana pun ia pergi. Mimpi Bahira menjadi kenyataan. Ia melihat kafilah dagang Abu Thâlib berteduh di bawah sebuah pohon, tidak jauh dari kuil. Bahirâ menyaksikan awan yang menaungi mereka, dan ranting-ranting pohon menunduk, seolah sengaja menyediakan diri memberi naungan kepada Muhammad.
Bahirâ bergegas turun dari kuil dan mengutus seseorang untuk mengundang mereka.
“Wahai kaum Quraisy, kami telah mempersiapkan hidangan untuk kalian. Kami berharap semua anggota rombongan datang, tanpa kecuali: tua, muda, para tuan, dan hamba sahaya.
“Demi Allah, wahai Bahirâ, tampaknya hari ini engkau sedang punya hajat?!” jawab
salah satu anggota kafilah.
. “Benar, seperti yang engkau katakan. Namun, kalian adalah tamuku dan apasalahnya jika aku menghormati kalian dan menghidangkan makanan untuk kalian semua,” jawab Bahirâ.
Undangan itu diterima dengan senang hati Semua anggota kafilah memenuhi permintaan Bahirâ, kecuali Muhammad. Bahirâ memerhatikan semua yang hadir dalam jamuan. Ia heran karena tidak melihat orang dengan ciri-ciri yang ada di dalam mimpinya.
“Wahai kaum Quraisy, apakah ada salah satu dari kalian yang tidak menghadiri jamuanku?” tanya Bahirâ.
Letak Kota Bashrah |
“Wahai Bahirâ, tidak seorang pun yang tertinggal untuk memenuhi undanganmu di sini selain seorang anak kecil,” ujar salah satu anggota kafilah.
“Bawalah ia kemari untuk ikut makan bersama!” kata Bahirâ.
“Demi Lâtta dan ‘Uzzâ, aku tidak menyangka akan dicela lantaran ketidakhadiran Muhammad putra ‘Abdullâh, cucu ‘Abdul Muthallib,” kata anggota kafilah.
Orang itu bergegas mendatangi Muhammad, menggendong dan mendudukkannya bersama yang lain. Bahirâ menatap Muhammad dalam-dalam; memerhatikan beberapa anggota badan tertentu dengan amat teliti. Hasilnya:. ia yakin telah menemukan ciri-ciri khüsus pada diri Muhammad.
Usai jamuan, saat semua orang telah beranjak dari tempat duduknya, Bahirâ menghampiri Muhammad. Ia bertanya.
“Wahai anak muda, demi Lâtta dan ‘Uzzâ, aku ingin menanyakan beberapa hal kepadamu, dan kuharap engkau menjawabnya.”
Bahirâ bersumpah atas nama berhala karena ia mendengar orang-orang Quraisy melakukan itu. Ia mengira Muhammad juga akan bersumpah dengan cara yang sama. Ternyata tidak.
“Jangan bertanya apapun kepadaku jika engkau menyebut nama Lâtta dan ‘Uzzâ. Demi Allah, aku tidak pernah membenci sesuatu melebihi kebencianku pada keduanya!” tegas Muhammad.
Demi Allah, jawablah pertanyaanku,” ujar Bahirâ.
“Tanyakanlah apa yang engkau inginkan!” Muhammad menjawabnya.
Bahirâ bertanya kepada Muhammad tentang seluk-beluk kehidupannya. Mulai dari keadaan dirinya hingga bagaimana Muhammad tidur. Muhammad menjawab semua pertanyaan itu dengan apa adanya: tidak lebih dan tidak kurang. Anehnya, Bahirâ selalu membenarkan tiap jawaban yang diberikan Muhammad.
Terakhir, Bahirâ melihat punggung Muhammad. Ia terkejut saat melihat ada tanda kenabian yang terletak di antara dua belikatnya. Ibnu Hisyâm menjelaskan, tanda kenabian itu mirip bekas pengobatan bekam di permukaan kulit.
Usai mengajukan beberapa pertanyaan, Bahirâ menemui Abi Thâlib untuk menghilangkan rasa penasarannya kepada Muhammad.
TERTIDUR SAAT INGIN MENONTON Kesucian Muhammad sebagai seorang nabi telah dijaga Allah sepanjang hidupnya, termasuk saat masih remaja. Suatu hari, Ia pergi ke sebuah sudut kota Makkah untuk melihat pertunjukan. Dan kejauhan, Ia mendengar suara tamborin, suling, dan alat musik lainnya yang sedang dimainkan di tempat pertunjukan. Ia kemudian duduk saat hampir tiba di lokasi untuk menyaksikan keramaian itu. Namun, tidak lama setelah duduk, kantuk yang hebat menyerangnya. Muhammad pun tertidur pulas tanpa sempat melihat pertunjukan. Dua kali ia mengalami kejadian seperti ini. Hingga akhirnya ia sadar, mungkin Allah tidak ingin ia menonton pertunjukan. Mulai saat itu, Muhammad tidak lagi memiliki keinginan pergi ke tempat keramalan.
“Apa hubunganmu dengan anak itu?” tanya Bahirâ.
“Anakku,” jawab Abu Thâlib.
“Tidak, dia bukan anakmu. Mustahil jika ayah anak itu masih hidup,” sanggah Bahirâ.
“Ia anak saudaraku,” kata Abu Thâlib lagi. “Bagaimana keadaan ayahnya?” “Ayahnya meninggal saat ia berada di dalam kandungan ibunya.”
“Engkau benar. Bergegaslah membawa kemenakanmu kembali ke negerimu, dan waspadalah terhadap orang-orang Yahudi. Demi Allah, andai mereka mengetahui apa yang aku ketahui dan mereka mendapati Muhammad, pasti mereka akan membunuhnya. Pulanglah ke negerimu, kelak anak ini akan menjadi onang besar,” jelas Bahirâ.
Usai berdagang, Abu Thâlib segera mengajak kemenakannya kembali ke Makkah. (Ibnu Ishâq)
Menurut sebuah riwayat, ada tiga orang Ahli Kitab: Zuraira, Tsamâma, dan Duraisima, yang juga mengetahui seluk-beluk pribadi Muhammad. Ketiganya mendapat informasi bahwa Muhammad sed ang melakukan perjalanan dagang menuju Syâm. Karena itu, mereka segera pergi menemui Bahira unruk memintanya menyerahkan Muhammad.
Bukannya meluluskan permintaan itu, Bahira malah memerintah mereka untuk pergi dari hadapannya. Bahirâ memberikan peningatan kepada tiga orang Ahli Kitab itu. Ia mengingatkan mereka akan keberadaan Allah yang melindungi Muhammad dan apa yang mereka dapati dalam alK itab tentang penyebutan nama Muhammad dan sifat-sifat yang ada pada dirinya. Bahirâ juga menginformasikan bahwa apabila orang-orang Yahudi dan Nasrani sepakat untuk memperdaya Muh ammad, mereka pasti tidak akan kuasa melakukannya.
Penjelasan Bahirâ diperhatikan mereka dengan baik. Ketiganya tak banyak membantah. Mereka memahami penjelasan Bahira dan memercayai perkataan pendeta tersebut. Setelah itu, ketiganya pergi begitu saja meninggalkan Bahirâ tanpa sedikit pun mengganggu Muhammad. Akhirnya, Muhammad pun selamat.
Hikmah Di Depan Pendeta BahIrâ
Pertemuan antara Muhammad remaja dan pendeta Bahirâ menjadi bukti tidak terbantahkan bahwa Ahli Kitab mengetahui tanda-tanda kerasulan dan kenabian pada diri Muhammad dan waktu kedatangannya. in menjadi penjelasan atas firman Allah swt tentang bangsa Yahudi dalam sürah al-Baqarah [2]: 89.
Bahkan, menurut Bukhâri, ayat aI-Qur’an yang berbunyi, “Hal Nabi, sesungguhnya Kami men gutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,” (QS. aI-Ahzab [331: 45), juga terdapat dalam Taurat. Isinya:
“Wahal Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan tempat berlindung bagi orang-orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Engkau adalah hamba sekaligus Rasul-Ku, Aku menamakanmu sebagai Mutawakil. Engkau tidak kasar dan keras kepala, tidak berbuat keributan di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan. Namun, engkau adalah seorang pemaaf dan berhati luas. Dan Aku tidak akan mengambilnya (mematikannya) hingga Kami menegakkan dengannya ajaran-ajaran agama yang telah dibengkokkan sampai mereka semua berkata, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’. Dengan kalimat itu, Ia akan membuka setiap mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup.” Sayang, semua fakta ini disembunyikan oleh banyak Ahli Kitab. Allah swt sudah menjelaskan ini dalam surah al-Baqarah [2]: 79.
Meski banyak Ahli Kitab yang berusaha menyembunyikan fakta kenabian Muhammad saw, tetapi mereka tidak dapat melakukannya dengan sempurna. Karena kalimat akan kerasulan Muhammad terdapat dengan jelas dalam sebagian Injil. Khususnya ketika menjelaskan nama nabi yang dinanti kedatangannya, ciri-ciri, waktu kedatangan, dan tempatnya.