Thursday, September 3, 2015

Kelahiran Muhammad


Kelahiran Nabi Muhammad saw

Tepat 50 hari setelah peristiwa penyerbuan pasukan gajah ke Ka’bah, usia kandungan Aminah telah mencapai sembilan bulan. Detik-detik kelahiran sang buah hati kian mendekat. Aminah mulai merasakan ada yang bergerak-gerak cepat di dalam perutnya. Semakin lama gerakannya semakin kuat. Aminah tidak kuasa menahan sakit. Ia segera berbaring di tempat tidur. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Tangannya mencengkeram kain selimut, menahan rasa sakit yang teramat sangat. 
Tak lama berselang, keluar sesosok bayi mungil dari rahim Aminah. Dialah Muhammad. Ada riwayat yang mengatakan tali pusar bayi itu telah terpotong dan kemaluannya telah dikhitan. (as-Sirah an-Nabawiyyah). Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa Muhammad kecil dikhitan oleh kak eknya. 
Hari itu, Senin, 12 Rabi’ul Awal--bertepatan dengan 22 April 571 M menurut penelitian ulama terkemuka, Muhammad Sulaimân aI-Manshurfuri--seorang anak yang akan mengubah peradaban dunia, telah lahir. Aminah berjuang sendirian melahirkan Muhammad, tanpa didampingi suaminya tercinta. 
Beberapa tanda kenabian muncul mengiringi kelahiran Muhammad. “Ketika aku melahirkannya, danri rahimku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syâm,” ujar Aminah (Musnad Ahmad dan Sunan ad-Dârimi). 
Kemudian, saat Muhammad lahir, berhala-berhala berjatuhan; istana Kisra terguncang, dan api persembahan orang Persia padam. Riwayat ini cukup mahsyur meski tidak berada pada derajat shahih. 
Aminah segera mengirim utusan ke ‘Abdul Muthallib, untuk mengabarkan kelahiran cucunya. Begitu mendapat kabar itu, ‘Abdul Muthallib segera menjenguknya. Setibanya di rumah Aminah, ia menyaksikan pemandangan menakjubkan. Tembikar tempat bayi Muhammad diletakkan, tiba-tiba terbelah dua. 
‘Abdul Muthallib segera menimang cucunya. Dia tahu kelak Muhammad akan menjadi manusia besar menurut kabar dari RajaYaman, Saif bin Dzi Yasn, serta Umayyah bin Abi Shalt dan orang-o rang yang memahami Taurat dan Injil. Sang kakek langsung memboyong cucunya itu masuk Ka’bah, seraya berdoa dan bersyukur kepada Allah. (Ibnu Hisyâm) 

Asal Mula Nama Muhammad 
Seseorang mendatangi Aminah saat ia mengandung. Lalu, orang itu berkata, “Apabila anak ini telah lahir, berilah ia nama Muhammad. Karena sesungguhnya namanya di dalam Kitab Taurat dan Injil adalah Ahmad. Semoga dengan nama itu, ia dipuji oleh seluruh penduduk langit dan bumi, sedangkan namanya di dalam al-Qur’an adalah Muhammad.” (Ibnu Ishaq dan Baihaqi) 
Aminah segera memberi tahu hal itu kepada ‘Abdul Muthallib. Sang kakek lalu memberinya nama Muhammad saat ‘Abdul Muthallib mengadakan aqiqah dan mengundang para pembesar Quraisy. “Apa nama yang akan engkau berikan?” tanya para pembesar Quraisy. “Aku akan memberinya nama Muhammad.” Mereka semua terkejut mendengar nama yang diberikan ‘Abdul Muthallib. “Mengapa engkau tidak suka menamainya dengan nama nenek moyangmu?” “Aku ingin agar dia dipuji oleh para penduduk bumi dan mendapat pujian di langit,” jawab ‘Abdul Muthallib. 
Rasulullah saw juga memiliki nama yang lain, yaitu Ahmad. Artinya tidak ada seorang pun yang memuji Tuhannya melebihi pujian yang dilakukan Rasulullah saw. Jadi, setiap orang yang memuji Tuhannya, maka Rasulullah saw lebih tinggi lagi pujiannya. Nama inilah yang terdapat di dalam Injil. Nama Rasulullah saw selengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim bin ‘Abdu Manâf bin Qushai bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin Nadhar bin Kinânah bin Khuzaimah bin Mudrihah bin Ilyâs bin Mudhar bin Nizâr bin Ma’ad bin ‘Adnân. Sedangkan, Fihr adalah nenek moyang suku Quraisy. 

NAMA LAIN MUHAMMAD Rasulullah saw pernah berkata, “Sesungguhnya aku ini memiliki beberapa nama: aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Mahi (Si Penghapus) yang diutus Allah untuk menghapus kekafiran, aku adalah Hasyir (Si Penghimpun) yang mengumpulkan orang-orang di bawah kekuasaanku, dan aku adalah ‘Aqib. Zuhri mengatakan, “Arti ‘Aqib adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi setelahnya.” (HR. Bukhâri/aI-Fath) Dalam riwayat lbnu Sa’ad ada tambahan nama, yaitu “...dan al-Khatim (penutup)... “(ath Thabaqat). Nama lain ialah al-Muqaffa (orang yang dimuliakan) dan Nabiy ar-Rahmah yang artinya “Utusan pembawa rahmat” (Shahih Muslim). Muhammad juga diberi nama Nabiy al-Malahim yang artinya “Utusan yang bertugas menyatukan” (asy-Syama’il). 

Letak Rumah Kelahiran Rasulullah saw
Peta Google letak rumah kelahiran Rasulullah saw dan tampak depan rumah kelahiran Rasulullah saw yang saat ini menjadi gedung perpustakaan

Di Tengah Kabilah Bani Sa’ad 
Abdul Muthallib dan Aminah begitu bahagia dengan kehadiran Muhammad. Keduanya tidak pernah berhenti menimang Muhammad kecil. Senyum kebahagiaan tersungging di kedua bibir mereka. Namun, kegembiraan itu harus segera diakhiri untuk sementara. Bayi yang mungil dan lucu itu harus segera dicarikan wanita yang dapat menyusuinya. 
Ini tradisi bangsa ‘Arab. Seorang bayi yang dilahirkan dari kalangan mereka harus disusui wanita lain. Ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan daya tahan tubuh bayi, menguatkan otot, dan memelihara kefasihan berbicara seperti ibu mereka, karena keluarga yang menyusui bertugas melatih bahasa ‘Arab bayi yang disusuinya. 
Wanita yang beruntung itu adalah Halimah binti Abi Dzuaib dari kabilah Bani Sa’ad bin Bakar. Suaminya bernama al-Harits bin ‘Abdul ‘Uzzâ, yang biasa dipanggil Abu Kabsyah, dan kabilah yang sama. Ayahnya bernama ‘Abdullâh bin al Hârits bin Syijnah bin Jâbir bin Rizâm bin Nashirah bin Fushiyah bin Sa’ad bin Bakar bin Hawazin. 
Dikisahkan, Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar yang berkata bahwa Halimah pernah mendatangi Nabi saw. Ia disambut beliau dengan menggelar selendangnya untuk sang ibu. Halimah lalu duduk di atas selendang tersebut. 
Dalam kisah lain, Abu Dâwud, Abu Ya’lâ, dan lainnya meriwayatkan melalui jalur Imarah bin Tsaubân dan Abu Thufail, bahwa Nabi pernah berada di Ji’ranah membagikan daging. Tiba-tiba ada seorang wanita datang membawa wadah mendekati Nabi saw. Saat itu juga, Rasulullah saw menggelar selendangnya untuk wanita tersebut. 
“Siapa wanita itu?” tanya Abu Thufail. 
“Dia adalah ibu yang pernah menyusui Rasulullah,” jawab orang-orang. 
Halimah dan keluarganya bukan orang berkecukupan. Dia datang ke Makkah di musim paceklik, mengendarai keledai putih yang sangat lambat karena lemah dan kurus. Dia juga membawa seekor unta yang tidak lagi dapat memberikan susu. Dia juga membawa anaknya yang masih bayi yang sering menangis sepanjang malam karena kelaparan. Akan tetapi, dia tidak pernah menduga, keputusannya mengambil Muhammad kecil untuk disusui berbuah keberkahan. 
Setiap enam bulan sekali, Halimah datang ke Makkah menemui ibunda Muhammad hingga masa susuan usai. Berakhirnya masa susuan membuat Halimah sedih. Tidak lama lagi ia akan berpisah dan Muhammad kecil. Halimah tidak ingin berada jauh dari Muhammad. Ia sangat menyayangi Muhammad kecil seperti menyay angi anaknya sendiri. Batinnya bergolak. Ia bingung. Muhammad kecil terus ditatap oleh Halimah. Tatapan kasih sayang seorang ibu yang enggan berpisah dengan buah hatinya tercinta. Tidak terasa, bola matanya membasah. 
Ia memberanikan diri mendatangi Aminah meminta agar Muhammad kecil tetap tinggal bersamanya. 
“Kami sangat berharap agar dia bisa tinggal bersama kami, karena kami mendapatkan banyak keberkahan,” kata Halimah kepada Aminah. 
Dalam pengakuannya sendiri, Halimah mengatakan, “Kami bermusyawarah dengan ibunya, dan saya (Halimah) katakan kepadanya, ‘Bagaimana kalau anak ini kau biarkan tinggal bersama kami hingga dia kuat, karena saya sangat khawatir dia terkena penyakit yang sedang mewabah di Makkah!” 
Dengan berat hati, Aminah mengizinkan Halimah untuk mengurus Muhammad lebih lama lagi. Selain Muhammad kecil, Halimah juga menyusui beberapa bayi lainnya, sehingga bayi-bayi itu menjadi saudara sesusuan Muhammad. Mereka di antaranya: 
‘Abdullâh bin Hârits; Anisah binti Hârits; Hudzâfah atau Judzâmah binti Harits, dialah yang bergelar asy—Syaima yang kemudian lebih populer daripada nama aslinya, dia juga yang merawat Rasulullah saw; serta Abü Sufyân bin al-Hârits bin ‘Abdul Muthallib, saudara sepupu Rasulullah saw. 
Paman Nabi saw, Hamzah bin ‘Abdul Muthallib, juga disusui di tengah kabilah Bani Sa’ad bin Bakar. Dengan demikian, Hamzah merupakan saudara sesusuan Rasulullah saw dari dua sisi: Tsuaibah dan Halimah as-Sa’diyyah. 


Pembedahan Dada 
Muhammad kecil telah berusia empat rahun. Suatu siang, saat ia tengah bermain di perkampungan Bani Sa’ad bersama teman-tcman sebayanya, malaikat Jibril mendatangi dan mendekati Muhammad. Tangan mungil Muhammad dipegang malaikat Jibril. Muhammad kaget. Belum habis rasa terk ejutnya, Jibril segera merengkuh tubuhnya hingga Muhammad pingsan. 
Jibril bergerak cepat. Ia buka baju Muhammad, lalu membedah dada Muhammad dan mengambil hatinya. Segumpal darah dikeluarkan Jibril dan hati tersebut. 
“ini bagian setan dalam dirimu!” kata Jibril. Dia mencuci gumpalan darah itu di dalam bejana emas dengan air zamzam. Setelah hati itu bersih, dia kembalikan ke tempat semula di dalam tubuh Muhammad. (HR. Muslim) 
Peristiwa ini membuat teman-teman Sebayanya lari ketakutan. Mereka mencari ibu susuan Muhammad sambil berteriak-teriak. 
“Muhammad telah dibunuh!” 

Letak Bani Saad
Letak Bani Saad

Hikmah Nabi saw diasuh Bani Sa’ad Pertumbuhan seorang anak di tengah pedalaman yang lingkungannya masih alami, udaranya terbuka, dan anginnya segar, serta pencahayaannya sempurna, menyebabkan watak seorang anak lembut, fisik dan indranya cepat berkembang, daya pikirnya jernih, serta perasaannya halus. (Syaikh Muhammad aI-Ghazali) 
Halimah terkejut mendengarnya. Bersama dengan kaum Bani Sa’ad lainnya, ia mendatangi Muhammad. Sesampainya di sana, mereka bertambah terkejut. Muhammad tampak berdiri. Ia terlihat sehat. Bahkan, rona wajahnya berubah drastis, tampak lebih cerah dan memancarkan sinar kemuliaan. 
Anas berkata, “Sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di dada Nabi saw.” (HR. Muslim) 
Peristiwa itu terus membekas di pikiran Halimah. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Muhammad. Halimah menjadi cemas terhadap keselamatan anak susuannya itu. Sebuah keputusan penting diambilnya: ia mengembalikan Muhammad kepada Aminah. 
Pembedahan dada Muhammad tidak hanya terjadi ketika beliau masih dalam pengasuhan Halimah. Menurut Ahmad dan Ibnu Asakir, hal serupa juga terjadi saat Muhammad berusia 10 tahun lebih beberapa bulan. (al-Fahi ar-Rabbani dan Tarikh Madinah Dimasyqi) 
Sementara itu, ada juga yang berpendapat, pembedahan dada Muhammad dilakukan untuk kali kedua pada saat beliau berusia 50 tahun. Peristiwa ini terjadi ketika beliau melakukan Isrâ’ ke Baitul Maqdis. (HR. Bukhâri, Ahmad, Hâkim, dan Tirmidzi) Pendapat ini didukung oleh adz-Dzahabi dalam bukunya as-Sirah an-Na bawiyyah. 
Pembedahan dada Muhammad ini, hingga sekarang masih saja diragukan oleh kalangan rasionalis, orientalis, atau sebagian kalangan umat Islam. Mereka berpendapat, kejadian tersebut tak ubahnya sebuah mitos, perumpamaan dan ungkapan-ungkapan lain yang satu makna. 
Ibnu hajar menyangkal sernua pendapat itu. Menurutnya, pembedahan dada, pengambilan hati, dan semua hal yang terkait dengan kejadian tersebur merupakan hal yang luar biasa yang harus diterima apa adanya tanpa perlu berpendapat untuk meragukan kebenarannya. Karena, itu semua merupakan kekuasaan Allah. Dan bagi Allah, tidak ada hal yang mustahil. (al-Fath) 
Bagi kita yang Muslim, tidak ada ruang untuk meragukan kebenaran peristiwa itu. Logikanya sederhana. Ukuran diterimanya sebuah hadits atau riwayat terletak pada sejauh mana kesahihan jalur dan sumber periwayatannya. Hadits atau riwayat yang mengisahkan tentang pembedahan dada Muhammad telah diterima dan derajat kesahihannya tak perlu diragukan. Artinya, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menafsirkan secara berbeda peristiwa tersebut dengan makna sesungguhnya berdasarkan logika manusia, seperti yang telah dilakukan kalangan rasionalis, orientalis, dan sebagainya.

Hikmah Pembedahan Dada Nabi saw Dibedahnya dada Muhammad, kata DR. Ramadhân al-Buthi, mengandung hikmah:
1) Memberitahukan keberadaannya sebagai Rasul yang maksum (bersih dari dosa) dan menyiapkannya sebagai pembawa wahyu Ilahi;
2) Agar manusia lebih mudah memercayai dan membenarkan risalahnya;
3) Sebagai prosesi pencucian jiwa, dengan cara yang bisa diterima indra manusia, dengan mengambil segumpal darah dan hati Muhammad saw, sehingga beliau terbebas dari segala aktivitas yang tidak bermanfaat dan berbahaya;
4) Membentuk karakter Nabi saw sebagai pribadi yang tangguh, teguh, bijak, dan kesatria. Tidak ada ruang bagi setan untuk menggoda dan menjerumuskannya. 

BERKAH BAGI KELUARGA HALIMAH Aminah berdiri mematung di pintu rumahnya sambil menggendong Muhammad kecil. Sudah cukup lama ia di sana, menunggu wanita dari kabilah BaiI Sa’ad yang akan menjadi ibu susu anaknya. Namun, tidak satu pun rombongan wanita itu mendekatinya. Mereka enggan menyusui Muhammad kecil karena sang bayi hanyalah anak yatim. Tidak ada harta yang dapat diberikan oleh seorang anak yatim, pikir mereka. Sementara mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi. Butuh makanan dan harta untuk menyambung hidup.
Aminah tetap tegar berdiri. Tidak lama, datanglah Halimah menghampiri Aminah. “Izinkan aku menjadi ibu susunya,” ujar Halimah kepada Aminah. Halimah membawa bayi Muhammad pergi ke kampung halamannya dengan menaiki unta. Dia memangku Muhammad kecil.
Di tengah perjalanan, ketika Ia hendak menyusui sang bayi, seketika air susunya terasa penuh. Ia pun menyusui Muhammad hingga kenyang. Anaknya yang selalu menangis kelaparan sepanjang perjalanan, juga disusuinya hingga tertidur pulas. Ketika sang suami menghampiri untanya, ia mendapati puting susu unta itu penuh air susu. Ia pun memerah susu itu kemudian diminum bersama istrinya sampai puas, lalu mereka tidur pulas malam itu. Saat keduanya kembali ke desa Bani Sa’ad, Halimah menunggangi unta itu bersama Muhammad kecil. Anehnya, unta yang semula tak mampu bergerak cepat, sekarang bisa berlari kencang, hingga tak satu pun unta lain yang mampu menyusul. Mereka sampai di desa lebih cepat. Setelah sampai di desa mereka yang kering karena paceklik, mereka mendapati domba-domba mereka dalam keadaan gemuk dan penuh dengan susu. Keduanya pun memerah susu domba mereka. Padahal, saat itu tak ada seorang pun di desa itu yang bisa memerah susu.