Silsilah Qushai hingga nabi Muhammad saw (baca silsilah dari bawah ke atas) |
Sebuah roti berukuran cukup besar sedang diremukkan oleh seorang laki-laki. Tangannya terlihat lihai mengolah roti. Setelali itu, ia rendam roti yang telah remuk ke dalam kuah. Roti itu disebut ats-Tsarid yang disajikan untuk orang-orang yang datang ke Ka’bah. Hampir setiap hari ia melakukan itu. Siapakah ia? Ia adalah ayah dan kakek Nabi saw:
Hasyim bin ‘Abd Manâf
Hâsyim adalah penanggung jawab untuk penyediaan air dan makanan bagi para tamu yang datang ke Ka’bah. Ia hartawan terhormat dan keluarga Bani ‘Abdi Manâf bin Qushai. Ialah orang pertama yang menyediakan jenis makanan ats- Tsarid (roti yang diremuk dan direndam di dalam kuah) kepada jamaah haji di Makkah. Nama aslinya adalah ‘Amr, tetapi ia biasa dipanggil Hâsyim, karena pekerjaannya (Hasyim dalam bahasa ‘Arab artinya orang yang meremukkan roti). Ia juga yang pertama kali mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy: rihlatusy-syita’ (bepergian di musim dingin), dan rihlatush-shaif(bepergian di musim panas). Keluarga besar Nabi saw lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah al-Hásyimiyyah. Sebutan itu dinisbahkan kepada Hasyim bin ‘Abdu Manâf. Silsilah Nabi saw tentu saja tidak berakhir pada Hâsyim bin ‘Abdu Manâf. Lalu siapa generasi di atas Hâsyim? Berikut garis keturunan Rasulullah saw.
Dia adalah Muhammad bin ‘Abdullâh, bin ‘Abdul Muthallib (nama aslinya Syaibah), bin Hâsyim (nama aslinya ‘Amrü), bin ‘Abdu Manâf (nama aslinya Mughirah), bin Qushai (nama aslinya Zaid), bin Kilâb, bin Murrah, bin Ka’ab, bin Lu’ai, bin Ghâhib, bin Fihr (yang berjuluk Quraisy dan menjadi cikal bakal nama kabilah), bin Malik,. bin an-Nadhar (nama aslinya Qais), bin Kinânah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah (nama aslinya ‘Amir), bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizâr, bin Ma’âd, bin ‘Adnân. ‘Adnân berasal dari anak keturunan Ismail bin Ibrahim. Namun, tidak diketahui berapa jumlah dan nama yang ada antara ‘Adnân dan nabi Ismail.
Fihr bin Mâlik—juga disebutkan Nadhar bin Kinânah—yang memiliki gelar Quraisy. Dengan penisbahan kepadanya, anak keturunannya dikenal dengan suku Quraisy Kabilah mi merupakan kabilah terhormat di tengah masyarakat ‘Arab secara keseluruhan dan tersebar di penjuru kota Makkah.
Hasyim Pergi, ‘Abdul Muthallib Datang
Gaza, Palestina, menjadi tempat singgah terakhir Hâsyim bin ‘Abdu Manâf. Dia wafat di sana, jauh dan Yatsrib, tempat istrinya, Salmâ binti ‘Amru, tinggal. Hâsyim meninggal di dalam perjalanannya berniaga ke Syâm. Sebenarnya Hâsyim terasa berat berangkat ke Syâm mengingat istrinya sedang mengandung. Namun, dia harus berdagang, untuk menghidupi istri dan anaknya kelak. Salmâ pun dengan ikhlas melepas kepergian suaminya ke Syâm. Tangisan mengiringi keberangkatan Hâsyim. Tidak diduga, Hâsyim meninggal dalam perjalanan. Salmâ ditinggal pergi oleh suaminya tercinta, selamanya, saat usia kandungannya kian menua.
Pada tahun 480 M, Salmâ melahirkan putranya yang diberi nama ‘Abdul Muthallib, kakek Rasulullah saw. Salmâ memanggil anaknya dengan Syaibah, karena uban di kepalanya. Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hâsyim) di Yatsrib. Sementara tidak seorang pun dan keluarganya di Makkah yang tahu tentang keberadaan Salmâ.
Hâsyim bertemu pertama kali dengan Salmâ di Yatsrib. Ketika itu, ia sedang dalam perjalanan ke Syâm dan singgah sebentar di Yatsrib. Tidak disangka, ia bertemu dengan jodohnya di sana: Salmâ. Sepeninggal Hâsyim, urusan penanganan makanan dan minuman bagi para tamu Allah dilimpahkan kepada saudara Hâsyim: al-Muthallib bin ‘Abdu Manâf. Ia adalah seorang laki-laki terpandang dan terhormat yang dijuluki alFayyadh (Sang Dermawan).
Telah cukup lama al-Muthallib tidak berjumpa Syaibah (‘Abdul Muthallib). Ia berusaha mencari anak Hâsyim tersebut, tetapi tak kunjung berhasil. Sampai suatu hari, ia mendengar berita tentang keberadaan ‘Abdul Muthallib. Al-Muthallib segera mencarinya. Usahanya tak sia-sia. Ia berhasil menemukan ‘Abdul Muthallib, yang saat itu berusia tujuh atau delapan tahun.
Sebuah pertemuan yang mengharukan terjadi. Air mata al-Muthallib berlinangan. Ia memeluk ‘Abdul Muthallib, rasa rindunya telah terbayarkan. Ia menaikkan ‘Abdul Muthallib ke atas tunggangannya dan memboncengnya, tetapi ‘Abdul Muthallib menolak. Al-Muthallib pun meminta persetujuan Salmâ, ibunda ‘Abdul Muthallib, agar diizinkan membawa pergi anaknya, tetapi sang ibu menolak permintaan itu. Salmâ tak ingin melepas buah hatinya yang sangat dia sayangi.
Namun, hati Salmâ akhirnya luluh juga saat al-Muthallib berkata, “Sesungguhnya dia (‘Abdul Muthallib) akan ikut bersamaku menuju kekuasaan yang diwarisi oleh ayahnya (Hâsyim), menuju Tanah Harâm.” Mendengar itu, Salmâ mengizinkan ‘Abdul Muthallib pengi dengan berboncengan di keledai milik al-Muthallib.
‘Abdul Muthallib tinggal bersama al Muthallib hingga dewasa. Suatu ketika, al-Muthallib pergi ke Rodan, Yarnan yang mcnjadi perjalanan terakhirnya. Di tempat itulah dia meninggal. Kekuasaannya diteruskan oleh ‘Abdul Muthallib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya sama persis dengan nenek moyangnya.
Namun, pengaruh ‘Abdul Muthallib melampaui para leluhurnya. Dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai para pendahulunya. Dia dicintai, sehingga karisma dan wibawanya semakin besar.
Penggalian Sumur Zamzam
Salah satu keistimewaan ‘Abdul Muthallib adalah “terpilihnya” dia oleh Allah untuk menggali sumur zamzam. Telah diketahui, air zamzam, yang ditemukan oleh Hajar, pernah hilang ditelan masa. Raibnya sumur tersebut bermula saat kaum Jurhum datang ke Makkah. Mereka meminta izin kepada Hajar, ibunda nabi Ismail, untuk tinggal di sekitar Ka’bah. Hajar mengabulkan permohonan mereka.
Suatu ketika, nabi Ismail tertarik pada salah satu putri dan suku Jurhum ini. Ismail kemudian menikahinya. Keturunan Ismail itu lalu diberi nama Bani Ismail. Lambat laun, suku Jurhum mulai meremehkan Ka’bah, sehingga Allah swt menjadikan kaum Khuza’ah menjajah mereka. Itu terjadi pada saat pecahnya bendungan ‘Arab Selatan, lebih kurang pada abad ke-5 M. Kaum Jurhum dipaksa hengkang dari Makkah. Namun, sebelum pergi, mereka masih sempat menimbun sumur zamzam agar tidak dipergunakan oleh suku Khuza’ah. Hari berganti hari, sumur zamzam tak ditemukan, lenyap bagai ditelan bumi.
Air zam-zam zaman dulu |
Hingga pada suatu saat, ‘Abdul Muthallib bermimpi diperintahkan menggali sumur zamzam. Dalam mimpi itu, dia juga diberi tahu di mana letak sumur tersebut. Dia pun melakukan penggalian hingga menemukan benda-benda terpendam berupa pedang; perisai, baju besi, dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas, yang dulu dikubur oleh kaum Jurhum ketika mereka akan meninggalkan Makkah.
Pedang-pedang kemudian dijadikan hiasan pintu Ka’bah, sedangkan dua pangkal pelana dijadikan sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu Ka’bah. Dia juga menyediakan wadah untuk air zamzam yang disediakan bagi jamaah haji. Saat sumur zamzam berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkan
“Izinkan kami membantumu!” kata orang-orang Quraisy.
“Aku tidak mengizinkan kalian! ini adalah proyek yang sudah aku tangani secara khusus,” jawab ‘Abdul Muthallib.
Akibat penolakan itu, mereka menyeret ‘Abdul Muthallib ke pengadilan seorang dukun wanita dan Bani Sa’ad, di pinggiran Syâm. Namun, dalam perjalanan, mereka kehabisan air. Saat mereka dilanda kehausan itulah, Allah menurunkan air hanya kepada ‘Abdul Muthallib, dan tidak setetes pun terc urah kepada yang lain. Peristiwa itu membuat mereka tahu bahwa urusan zamzam telah diserahkan secara khusus oleh Allah kepada ‘Abdul Muthallib.
Mereka pun pulang ke tempat masing-masing. Saat itulah ‘Abdul Muthallib bernazar, bahwa jika ia dikaruniai sepuluh orang anak, ia akan menyembelih salah satunya untuk Ka’bah, bila mereka telah masuk usia baligh. Nazar itu membuat kaget keluarganya. Namun, ‘Abdul Muthallib tetap ingin melakukan nazar tersebut, meski pihak keluarga memintanya untuk membatalkan. Ia tetap pada keputusannya.
‘Abdullah: Ayahanda Nabi saw
Nazar itu akhirnya memang harus dilakukan saat ‘Abdul Muthallib dikaruniai anak kesepuluh. Sanak saudara kian khawatir dengan hal ini. Namun, tidak demikian halnya dengan ‘Abdul Muthallib. Ia segera memberi tahu anak-anaknya. Mendengar penjelasan ayahnya, mereka pada mulanya terkejut. Rasa kaget mereka berangsur hilang ketika ayah mereka menjelaskan asal usul nazar tersebut. Mereka pun mengikuti permintaan ‘Abdul Muthallib.
Ia lalu menulis nama-nama anaknya, untuk dijadikan kurban, pada anak panah undian. Setelah diundi, yang keluar nama ‘Abdullah, anak yang paling tampan di antara putra-putra ‘Abdul Muthallib, yang paling bersih jiwanya, dan paling disayang. Abdul Muthallib terkejut dengan hasil undian itu, tetapi ia harus melaksanakan nazarnya.
Makam ayahanda Nabi saw, Abdullah |
‘Abdul Muthallib lalu menuntun ‘Abdullâh menuju Ka’bah sambil membawa pedang. Wajah ‘Abdullâh diarahkan ke Ka’bah untuk disembelih, tetapi orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dan pihak ibu) dan Bani Makhzum dan saudaranya, Abü Thâlib. Menghadapi sikap tersebut, ‘Abdul Muthallib berkata, “Lantas apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?” Mereka menyarankan agar ‘Abdul Muthallib menemui seorang wanita peramai untuk meminta pendapatnya.
Saran itu dijalankan ‘Abdul Muthallib dengan menemui wanita peramal tersebut. Wanita peramal itu memerintahkan ‘Abdul Muthallib untuk membuat anak panah undian yang diberi nama ‘Abdullâh dan 10 ekor unta. Jika yang keluar nama ‘Abdullâh, ‘Abdul Muthallib harus menambah tebusan 10 ekor unta lagi, begitu seterusnya. Jika dalam undian itu keluar nama unta, dia harus menyembelih unta sebanyak jumlah yang tertera dalam panah undian itu.
‘Abdul Muthallib lalu pulang ke rumah dan melakukan undian seperti saran dukun wanita itu: antara nama ‘Abdullâh dan 10 ekor unta. Namun, yang keluar tetap nama ‘Abdullâh. Itu terus berulang hingga ketika jumlah unta sebanyak 100 ekor, barulah undian itu jatuh pada nama unta. Akhirnya, dia menyembelih 100 ekor unta untuk memenuhi nazarnya. Dulu, diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan bangsa ‘Arab secara keseluruhan dihargai dengan 10 ekor unta. Namun, sejak peristiwa itu, jumlahnya diubah menjadi 100 ekor unta.
Ibunda ‘Abdullâh bernama Fâthimah binti ‘Amr bin A’idz bin ‘Imrân bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. ‘Abdul Muthallib memilihkan untuk ‘Abdullâh, seorang gadis bernama Aminah binti Wahâb bin ‘Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilâb. Aminah adalah gadis terhormat di kalangan Quraisy, baik dalam hal nasab maupun martabatnya. Ayahnya adalah pemuka Bani Zahrah. ‘Abdullah pun menikahi Aminah, dan tinggal bersamanya di Makkah.
‘Abdullâh lalu dikirim ayahnya, ‘Abdul Muthallib, ke Yatsrib untuk mengurusi kurma. Setelah tiba di Yatsrib, ‘Abdullâh jatuh sakit dan meninggal pada usia yang masih sangat muda: 25 tahun. Ia dikuburkan di Dâr an-Nâbighah al-Ja’dl.
Aminah Mengandung
Aminah binti Wahâb ditinggal oleh suaminya, ‘Abdullâh, saat sedang mengandung Muhammad. Selama hamil, ia tidak merasa sakit dan tidak kelelahan. “Aku tidak merasa sedang hamil, tidak pula merasa lelah seperti biasa dialami wanita hamil. Hanya, aku heran mengapa haidku berhenti,” kata Aminah. (Ibnul Jauzi)
Di hari Senin, saat Aminah sedang setengah sadar, seseorang mendatanginya dan bertanya, “Apakah engkau merasa sedang hamil?”
“Aku tidak tahu,” jawab Aminah.
“Engkau sedang mengandung bayi yang kelak akan menjadi pemimpin dan nabi bagi umat mi,” kata orang itu. Hal ini membuat Aminah yakin bahwa dirinya sedang hamil.
Ibnu Hisyâm menuturkan, ketika Aminah binti Wahâb hamil, seseorang mendatanginya dan berkata kepadanya, “Sungguh, engkau mengandung bayi yang kelak menjadi pemimpin umat. Apabila bayimu lahir, ucapkanlah, “Aku memohonkan perlindungan baginya kepada Yang Maha Esa dan kejahatan setiap pendengki”, dan namailah dia Muhammad.”
“Saat aku mengandung Muhammad, sebuah cahaya keluar dari dalam diriku yang menyinari istana Basra di Syâm,” kata Aminah.
HikmahNasab Muhammad saw
Nasab atau garis keturunan seringkali menentukan kesuksesan seorang da’i. Dengan nasab yang bagus, masyarakat akan mendengarkan apa yang disampaikannya. Dalam struktur masyarakat Jahiliyah, nasab sangat penting. Tak heran jika penguasa Romawi, Kaisar Heraklius, bertanya kepada Abü Sufyân, “Bagaimana nasab Muhammad di kalangan masyarakatmu?” Islam tidak menempatkan nasab sebagai faktor utama. Namun, gerbang kesuksesan dan derajat kemuliaan akan Iebih mudah diraih jika seorang da’i memiliki dua hal: nasab yang bagus dan amal perbuatan yang baik.