Makkah, di pengujung Februari 571 M. Hari itu, tepat 50 hari sebelum nabi Muhammad saw lahir, ketika 6 ribu tentara bcrduyun-duyun mendatangi Makkah untuk menghancurkan Ká’bah. Pasukan itu dipimpin Abrahah bin ash-Shabbah al-Habsyi, penguasa yang menjadi bawahan an-Najasyi di negeri Yaman.
Abrahah sangat bernafsu meluluhlantakkan Ka’bah. Mengapa? Karena ia terganggu dengan kehadiran banyak orang ke Ka’bah. Seperti diketahui, saat itu ‘Abdul Muthallib menjadi pemimpin Makkah. Ia sangat mencintai Ka’bah seperti yang diperintahkan oleh nenek moyangnya, nabi Ibrahim. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga dan melindungi Ka’bah. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatangi Ka’bah sebagai tempat ibadah meski tak sesuai lagi dengan ajaran nabi Ibrahim. Karena mereka menyembah berhala di sekitar Ka’bah.
Perjalanan pasukan gajah ke Makkah |
Ini tidak disukai Abrahah. Ia merasa jengkel. Abrahah berada di barisan terdepan sebagai orang yang membenci Ka’bah. Sebagai pengalih perhatian orang-orang, ia membangun sebuah gereja berlapis emas, di kota Shan’â’, untuk menandingi Ka’bah, tetapi hanya sedikit orang yang datang.
Abrahah marah. Ia bertambah geram ketika mengetahui pada suatu malam, seseorang dari Bani Kinânah berhasil masuk ke gerejanya. Orang itu memasuki gereja dengan cara mengendap-endap, lalu melumurkan kotoran ke pusat kiblat gereja tersebut. Amarah Abrahah tidak tertahankan lagi. Ia pun berniat menghancurkan Ka’bah dengan pasukan gajahnya.
Abrahah segera memerintahkan panglimanya untuk menyiapkan 6.000 prajurit dan sembilan atau 13 ekor gajah untuk menyerang Ka’bah. Persiapan perang pun dilakukan. Semua perlengkapan perang dikeluarkan dan dibawa untuk menghancurkan Ka’bah. Setelah siap, pasukan Abrahah pun berangkat menuju Makkah.
Abrahah berada paling depan, memimpin pasukan dengan penuh kesombongan. Ia mengendarai gajah yang paling besar bernama Mahmud. Tubuh gajah yang besar membuat bumi seolah terguncang ketika kaki hewan-hewan tersebut serentak menjejak tanah.
Abrahah menghiasi pasukan gajahnya dengan kain-kainan. Ia sangat yakin dengan sekali gebrakan, Ka’bah akan hancur oleh pasukan gajah yang dimilikinya. Iring-iringan pasukan gajah terus mendekati Makkah. Mereka yakin akan mampu meluluhlantakkan Ka’bah hingga berkeping-keping.
Kabar kedatangan pasukan gajah didengar oleh penduduk Makkah. Suasana kota mencekam. Orang-orang Quraisy melarikan diri ke bukit dan gunung menghindarii ancaman yang segera datang. Seketika itu juga suasana Makkah hening. Makkah seperti kota mati tiada berpenghuni.
Pasukan gajah kian mendekati Makkah. Setibanya mereka di Wadi Muhasin--wilayah yang berada di antara Muzdalifah dan Mina --terjadi sebuah peristiwa aneh. Ketiga belas gajah itu tiba-tiba berhenti, tak mau berjalan lagi. Mereka kemudian duduk di atas padang pasir yang tandus. Sesekali belalai mereka dikibas-kibaskan untuk mengusir debu yang diterbangkan angin.
Gajah-gajah itu tidak mau berjalan menuju Ka’bah. Setiap diperintahkan berjalan ke arah selatan, utara, dan timur, gajah-gajah itu bangun dan berlari. Namun, apabila diarahkan ke Ka’bah, gajah-gajah itu duduk dan tidak mau berjalan. Abrahah dan bala tentaranya heran. Mereka bingung, tak tahu apa yang terjadi dengan gajah-gajah itu.
Di tengah kegalauan mereka, tiba-tiba muncul burung-burung yang beterbangan di atas pasukan gajah. Jumlahnya cukup banyak. Abrahah dan bala tentaranya terkesima. Kepala mereka mendongak ke langit. Burung-burung itu berbentuk laksana besi berpengait (khathathif), dan lekukan tubuhnya seperti bentuk kacang adas (balsan). Suara dengungan terdengar kencang, hingga membuat pasukan Abrahah menutup telinganya dengan tangan.
Saat pasukan Abrahah masih terkesiap, tanpa diduga, burung-burung itu memuntahkan bebatuan yang terbakar. Abrahah dan pasukannya terkejut. Mereka kocar-kacir. Berlarian lintang pukang tak tentu arah untuk menyelamatkan diri.
Setiap burung melempar tiga buah batu: satu di paruh dan dua buah di kedua kakinya. Bila batu itu mengenai seseorang, tubuh orang itu akan berlubang-lubang seperti daun dimakan ulat. Tidak semua dan mereka terkena lemparan batu. Di antara pasukan Abrahah itu ada yang dapat melarikan diri, tetapi karena saling berdesakan, banyak dan mereka terjatuh dan teninjak oleh temannya sendiri yang juga berlari menyelamatkan diri.
Abrahah berhasil menyelamatkan diri. Namun, setibanya di Shan’â’, ia menderita penyakit aneh, persendiannya lepas satu per satu. Abrahah seperti seekor anak burung yang terbelah dadanya, hingga jantungnya menyembul keluar, lalu mati.
Peristiwa ini dengan cepat menyebar hingga terdengar di Romawi, Persia, dan Habasyah. Dunia pun gempar, hampir tidak memercayai kejadian itu. Mereka heran dengan peristiwa yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka tak menduga jika Abrahah yang seorang raja termasyhur dan mempunyai pasukan gajah bisa kalah dan gagal menghancurkan Ká’bah.
DIALOG ABRAHAH DAN ‘ABDUL MUTHALIJB Sebelum tiba di Makkah, pasukan Abrahah merampas harta benda milik penduduk Makkah. Di antaranya 200 ekor unta milik ‘Abdul Muthallib. Ketika hampir tiba di Makkah, ia meminta bertemu dengan pemimpin Makkah yang tidak lain adalah ‘Abdul Muthallib. Pertemuan pun berlangsung. “Aku hanya datang untuk menghancurkan Makkah. Jangan halangi aku agar tidak terjadi pertumpahan darah,” sombong Abrahah.
“Apa yang engkau inginkan?” lanjut Abrahah kepada ‘Abdul Muthallib.
“Tentaramu merampok 200 ekor unta milikku. Aku mau unta-unta itu dikembalikan,” jawab ‘Abdul Muthallib.
“Aku kira engkau memintaku agar tidak menghancurkan Ka’bah, tapi ternyata engkau hanya mengurusi unta-untamu,” terkejut Abrahah.
Abrahah seperti mendapat kesempatan mengejek ‘Abdul Muthallib. “Sekarang aku tahu telah salah menilaimu sebagai pemimpin Makkah. Aku sudah menilaimu terlalu tinggi.”
“Aku adalah pemilik unta-unta itu. Karenanya aku berkewajiban melindunginya, sedangkan Ka’bah milik Allah. Dialah yang akan menjaganya,” jawab ‘Abdul Muthallib.
Abrahah sangat geram mendengar ini. “Dia tidak akan bisa melindunginya dariku,” teriak Abrahah.
“Kita lihat saja,” jawab ‘Abdul Muthallib.
Abrahah kemudian mengembalikan unta-unta milik ‘Abdul Muthallib, sedangkan ‘Abdul Muthallib langsung meminta penduduk Makkah mengungsi ke lereng gunung dan bukit untuk melihat apa yang akan terjadi.