Kuil pemujaan untuk dewa api bagi Zoroaster |
Berbagai aliran kepercayaan pernah dianut oleh masyarakat Persia. Awalnya, mereka menyembah tiga dewa: Mithra, Yema, dan Asya. Aliran mi bertahan beberapa lama hingga akhirnya datang Zaratustra yang membawa ajaran Zoroaster. Ia mengajak masyarakat Persia untuk “bertauhid” menurut versinya. Ia juga mengajak mereka agar pada saat shalat menghadap matahari dan api. Pada akhirnya, kepercayaan dan agama masyarakat Persia yang tersisa adalah menyembah api. Ritual sesat tersebut dilaksanakan di kuil-kuil.
Ajaran Zoroaster menghilang ketika Alexander dan Makedonia menyerang Persia pada akhir abad ke-4 SM. Lalu, muncullah Majusi yang meyakini bahwa api adalah tuhan dan karenanya harus disembah. Dalam setiap ritualnya, mereka selalu memuja-muja api melalui syair-syair keagamaan. Karena itu, Majusi dikenal sebagai para penyembah atau pemuja api. Sesudah Kekaisaran Persia ditaklukkan oleh Alexander Yang Agung di akhir pertengahan abad ke-4 SM, agama Zoroaster mengalami kemunduran, dan ada semacam kebangkitan kembali agama Zoroaster. Di masa Dinasti Sassanid (226--65 1 M), Zoroaster diterima sebagai agama resmi Persia. Imperium ini ingin kembali pada ajaran Zoroaster sebagai agama kuno di Persia. Namun, dalam praktiknya, ajaran Zoroaster yang dianut berbeda dengan sebelumnya. (Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah).
Di tengah kehidupan Persia yang kacau, datanglah Mâni pada abad ke-3 M yang membawa ajaran Manawiyyah. Ia mengajak masyarakat Persia untuk menjauhi syahwat secara total, karena dianggap sebagai sumber kegelapan. Baginya, mempercepat kematian itu lebih baik demi menggapai kehidupan yang penuh cahaya. Saat Islam menaklukkan Persia, masih banyak penduduk Persia yang mengikuti ajaran mi. Bagi penganut Zoroaster, Mâni dianggap telah mcnyimpangkan ajaran Zoroaster sehingga disebut sebagai seorang zindiq (orang yang murtad).
Riwayat Mâni berakhir ketika ia dibunuh oleh penguasa Persia, Bahram pada tahun 276 M. “Pria ini telah datang dan mengajak untuk menghancurkan alam semesta. Maka, sudah selayaknya bila kita membunuhnya,” ujar Bahram mengenai alasannya membunuh Mâni.
Setelah era Mâni berakhir, datang kepercayaan baru yang dibawa Mazdak pada 478 M. Dia menganggap harta dan wanita adalah milik bersama, seperti halnya padang rumput, air, dan api. Kepercayaan ini bertahan lama. Akibatnya, seseorang tak lagi mampu mengenali anaknya dan anak tidak mengenali siapa ayahnya. Seseorang lebih banyak berada di rumahnya dengan ditemani harta dan wanita.
Ilustrasi sosok Zoroaster |
Secara sosial, masyarakat Persia mempraktikkan perbedaan strata secara ketat dan keras. Strata itu terbentuk berdasarkan nasab (garis keturunan). Mereka dilarang melampaui batas-batasnya dan tak boleh mengganti profesi yang telah ditentukan padanya. Mereka juga menerapkan sistem keuangan yang tidak adil. Sistem ini bersandar pada pungutan pajak dan retribusi yang sangat besar.
Penduduk Persia sangat menyucikan orang yang dianggapnya paling kuat. Mereka juga menjadikan raja-raja mereka sebagai tuhan mereka yang memiliki kekuasaan dan hak mutlak. Mereka memandang para raja memiliki tingkat atau derajat yang lebih tinggi daripada kebanyakan orang dalam hal budi pekerti, tingkah laku, akal, dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, tak heran jika rakyat Persia memberikan kekuasaan spiritual tak terbatas pada mereka.
Bangsa Persia juga memiliki fanatisme yang tinggi. Mereka merasa sebagai bangsa yang paling terhormat dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberikan berbagai kelebihan, bakat, dan keahlian yang tak dimiliki bangsa lainnya di dunia. Hal mi membuat mereka sering memandang rendah bangsa lain dan melecehkannya.
Dalam hal politik, Bangsa Persia tak pernah memiliki pemerintahan yang mampu membawa kemajuan bagi rakyatnya. Para elite politik berlomba-lomba mengejar kekuasaan, karena dengan berkuasa, maka mereka akan sangat dihormati. Mereka akan dianggap sebagai tuhan dan memiliki kekuasaan mutlak tak terbatas. Kursi kekuasaan dikejar hanya untuk kepentingan dunia semata.
Ironisnya, di saat para penguasanya mengejar harta dunia, rakyat Persia terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Para penguasa tak mampu menyejahterakan rakyatnya. Tak heran jika yang tersisa dan Persia adalah kisah tentang para rajanya yang bergelimang kemewahan.
Ada raja yang harta simpanannya berupa emas seberat 800 ton. Dia tidak peduli meskipun rakyatnya miskin. Kisrâ Abruwaiz misalnya, memiliki 12.000 selir dan 50.000 kuda yang bagus. Peralatan mewahnya tidak bisa dihitung.
Ada juga Raja Yazdeger, raja terakhir Persia. Konon, saat melarikan diri dari serangan pasukan Islam, dia membawa sekitar seribu juru masak, seribu penyanyi, seribu petugas kebersihan, seribu penjaga pakaian, dan masih banyak lagi. Padahal, di masa pemenintahannya, rakyat Persia sangat menderita karena tingginya biaya pajak dan upeti. (as-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau’i al Mashadir al-Ashliyah: Dirásah Tahliliyyah diterjemahkan menjadi Biografi Rasulullah:
Sebuah Studi Analitis berdasarkan Sumber sumber yang Autentik).